Lebih dari sekedar geek

Hari ini saya membaca sebuah artikel menarik yang membawa memori saya kembali ke pengalaman ketika pertama kali berkenalan dengan dunia open source. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa selagi isu tentang diversity dalam dunia IT digembar-gemborkan dimana-mana, isu tentang open source justru tetap stagnan. I feel it very well resonate.

Saya ingat betapa dulu sebelum bergabung dengan salah satu komunitas open source di kampus (Doscom), saya melihat komunitas tersebut sebagai komunitas alien yang “seakan-akan” punya moto “you have to be geek enough to join us”. Dan lalu dari mendengar kata geek, yang saya bayangkan adalah seseorang yang suka menghabiskan waktunya berjam-jam di depan komputer untuk coding atau hacking. Sesuatu yang sangat menakutkan bagi mahasiswa semester 2 yang masih merasa culun seperti saya kala itu.

Namun justru itulah kendala dari semua kesusahan proyek open source dalam mencari kontributor baru. Betapa mahalnya label geek yang harus kita akuisisi untuk sekedar bergabung dan mencari peluang kontribusi di proyek open source.

Meskipun banyak peluang kontribusi lain seperti design, marketing, documentation, localization, maupun QA, coding tetaplah terlihat seperti harga mati untuk ikut berkontribusi di dunia open source. Dan hal tersebut kembali lagi adalah hasil dari imaginasi sosok seorang geek di mata kebanyakan orang.

Padahal, orang-orang yang sudah pernah mencicipi software open source pasti akan setuju betapa kita butuh lebih banyak kontribusi dalam bidang UI/UX di banyak proyek open source. Namun, justru hal tersebutlah yang tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang.

Pengalaman saya sendiri selama menjadi anggota di Doscom, pada akhirnya saya lebih banyak membantu dalam hubungan antar komunitas. Menghubungkan komunitas kita ke komunitas lain yang memiliki misi sejalan. Kontribusi yang sama sekali tidak saya bayangkan sebelumnya ketika baru bergabung dengan komunitas tersebut.

Selama menjadi relawan di Mozilla pun saya lebih banyak berkontribusi dalam bidang pelokalan. Salah satu kontribusi yang saya juga tidak tahu sebelumnya bahwa “mereka butuh yang seperti ini juga toh”.

Di Mozilla sendiri, kita mengenal istilah mobilizer. Yaitu orang yang menghubungkan berbagai kontributor dan berperan sebagai fasilitator dalam komunitas itu sendiri. Sehingga kontributor yang lain bisa fokus pada bidangnya masing-masing.

Di era ketika pekerjaan programmer seakan-akan menjadi bagian paling penting dari setiap produk, kita terkadang jadi lupa mengapresiasi bahwa dibalik itu semua banyak pihak yang mendukung dan membantu mewujudkan produk tersebut. Seperti layaknya sebuah bisnis yang umumnya terdiri dari hacker (yang mengurus elemen teknologinya), hipster (para ahli UI/UX), dan hustler (yang mengurus bisnisnya), proyek open source pun tidak serta merta hanya membutuhkan si ahli coding.

Memang, mengubah presepsi khalayak umum bukanlah perkara yang mudah. Justru karena itulah kita harus meneruskan cerita ini. Cerita bahwa tidak hanya yang pintar coding & hacking saja yang bisa berkontribusi di open source. Bahwa seorang geek bukan hanya mereka yang mahir berkutat dengan command line. Namun semua yang bisa membantu mengembangkan sebuah produk menjadi lebih baik. Tidak peduli bidang kontribusi apa yang mereka lakukan.