[review] Man's Search for Meaning

2018-05-03_10-55-48

Apa pun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: kebebasan terakhir seorang manusia yaitu kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri. - Victor Frankl

Jika ditanya salah satu buku terbaik yang saya baca akhir-akhir ini, saya akan menobatkan Man’s Search for Meaning oleh Viktor E. Frankl sebagai pemenangnya. Buku tersebut tidak hanya mengubah pandangan saya terhadap kebahagiaan, namun juga membuka mata saya pada sejarah kekejaman kelompok Nazi.

Di bab pertama yang memakan hampir 2/3 isi buku tersebut Frankl menceritakan pengalamannya selama 3 tahun di kamp konsentrasi Nazi. Victor Frankl ini seorang Psikiater keturunan yahudi yang bermukim di Wina, Austria. Sebelum diseret ke kamp konsentrasi, ia sebenarnya mendapat undangan dari Konsulat AS untuk mendapatkan visa imigrasi. Apalagi saat itu ia sedang mengembangkan gagasannya yang ia sebut sebagai Logoterapi. Namun ia justru ragu dan tak tega untuk meninggalkan kedua orang tuanya yang ia yakin cepat atau lambat akan ditangkap dan dimasukkan ke kamp konsentrasi. Maka ia pun memilih untuk tetap tinggal.

Ia pun akhirnya menghabiskan 3 tahun berikutnya di 3 kamp konsentrasi yang berbeda - Teresienstadt, Auschwitz-Birkenau, Kaufering, dan Turkheim (bagian dari kompleks Daschau). Sebagai tawanan, ia tiba-tiba dipaksa untuk menilai apakah kehidupannya sendiri masih memiliki makna di tengah keadaan kamp konsentrasi yang sarat akan penderitaan.

Jika hidup benar-benar memliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. Karena penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Meskipun penderitaan itu merupakan nasib dan dalam bentuk kematian. Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidaklah sempurna.

Dari pengamatan beliau selama di kamp konsentrasi, ia pun menemukan fakta bahwa pada dasarnya setiap manusia bisa menentukan apa yang akan terjadi pada dirinya, terlepas dari bagaimanapun kondisinya saat itu. Kerasnya kehidupan di kamp konsentrasi dan dalamnya penderitaan yang mereka alami di sana membuat banyak dari para tawanan mengalami guncangan mental.

Hidup di kamp konsentrasi sangatlah menderita. Mereka hidup dengan bayang-bayang dikirim ke kamar gas untuk kemudian dimusnahkan begitu saja. Untuk tetap hidup pun, setiap hari mereka harus bekerja tanpa upah dan hanya diberi makan yang sangat tidak layak (semangkuk sup yang lebih banyak airnya dan secuil roti). Tak heran, setelah beberapa waktu tak sedikit tawanan yang akhirnya menyerah dan memilih untuk bunuh diri.

Manusia punya kedua potensi untuk berperilaku seperti babi atau seperti nabi; potensi mana yang akan diwujudkan, tergantung dari keputusannya, bukan dari kondisi. - Victor Frankl

Karena kejamnya petugas penjaga di kamp konsentrasi, para tahanan pun tak pelak merasa bahwa martabat mereka sebagai manusia kian terkikis. Tak jarang mereka ditendang, diteriaki babi, atau disiksa tanpa alasan.

Saya teringat kembali pada tulisan lama tentang potensi baik dan buruk manusia yang pernah saya tulis di sini. Saya membayangkan pasti sangat sulit untuk merunut kembali ke hati nurani kita sebagai manusia dalam keadaan nelangsa seperti itu. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak mungkin. Frankl sendiri terus berusaha menemukan makna dalam kehidupannya meskipun di tengah keadaan yang menderita sehingga ia tak kehilangan martabatnya sebagai manusia.

Menurut Frank, sebagai manusia kita tidak perlu berharap sesuatu dari hidup. Sebaliknya, justru hiduplah yang seharusnya mengharapkan sesuatu dari kita. Sehingga hal tersebut akan menimbulkan rasa tanggung jawab di pihak si manusia.

Masuk ke bab Logoterapi, saya mulai kesusahan untuk membaca karena banyaknya istilah psikologi di bab tersebut. Namun intinya, prinsip Logoterapi yang utama adalah bahwa perhatian utama manusia bukanlah untuk mencari kesenangan atau menghindari kesedihan, tetapi untuk menemukan makna dalam hidupnya. Buktinya manusia bahkan siap menderita dengan syarat bahwa setiap penderitaannya memiliki makna.

Ketika di kamp konsentrasi, Frankl selalu berusaha mencari makna atas hidupnya meski dalam kondisi tersulit sekali pun. Pernah ketika ia tengah bekerja di keadaan yang menyedihkan, ia pun membayangkan bahwa ia sedang berkomunikasi dengan istri tercintanya meskipun ia sendiri tak tahu keadaan istrinya saat itu.

Menurut Logoterapi, ada 3 cara yang bisa ditempuh manusia untuk menemukan makna hidupnya:

  1. Melalui pekerjaan/perbuatan
  2. Dengan mengalami sesuatu atau melalui seseorang
  3. Melalui cara kita menyikapi penderitaan yang tidak bisa dihindari

Membaca Man’s Search for Meaning, saya jadi sadar bahwa ada makna yang lebih dalam dari kebahagiaan, yaitu makna hidup itu sendiri. Jika kita perhatikan, biasanya kebahagiaan itu lebih dihubung-hubungkan ke hal-hal yang lebih umum. Contohnya, kita mungkin berpikir jika punya pacar baru kita bisa lebih bahagia. Atau mungkin mendapat tiket liburan gratis akan membuat kita bahagia. Namun, lebih dari itu semua padahal bisa saja pacar baru kita ternyata tidak lebih baik daripada si mantan. Atau, liburan kita mungkin tidak berjalan lancar karena terhalang cuaca. Maka maknanya pun bisa bergeser, tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Sebaliknya di tengah kesengsaraan hidup di kamp konsentrasi, bukan berarti manusia tidak bisa menemukan makna hidupnya. Buktinya di tengah keadaan kamp konsentrasi yang sangat menyedihkan, mereka masih bisa menemukan sedikit kebahagiaan dari rasa humor dan seni.

Sedikit banyak saya juga mulai memahami konsep Frank tentang the self-transcendence of human existence yang menyebutkan bahwa manusia selalu menuju dan dituntun kepada sesuatu atau seseorang di luar dirinya sendiri. Semakin kita melupakan diri sendiri -dengan mengabdi pada suatu perkara atau orang lain yang kita cintai- maka kita menjadi semakin manusiawi. Sungguh pesan yang sangat baik!