[review] - The happiness project
Selain cokelat, hal lain yang selalu saya sempatkan untuk membeli ketika di luar negeri adalah: buku. Dan ceritanya, dari LA kemarin saya beli 2 buku. Yang pertama adalah bukunya Marie kondo - The life-changing magic of tidying up. Dan yang kedua adalah karya Gretchen Rubin - The Happiness Project.
Nah, buku yang kedua ini sebenernya sudah saya kenal dari jaman kuliah dulu. Bahkan saya sampai membuat blog baru gara-gara terinspirasi topik di buku tersebut. Tapi akhirnya baru kesampaian beli bukunya sekarang ini.
Jadi di buku ini, Gretchen ternyata menceritakan tentang pengalamannya mencari (well, meningkatkan lebih tepatnya) kebahagiaannya. Dia mencoba berbagai hal baru dan bereksperimen dengan kehidupannya untuk melihat apakah dengan cara tersebut dia bisa lebih bahagia. Setiap bulan, dia berfokus pada satu aspek tertentu yang menurutnya sangat mempengaruhi hidupnya (ragawi, spiritual, cinta, pekerjaan, hobi, dll).
Saking seriusnya, sebelum memulai Happiness Projectnya ini Gretchen membuat Resolutions Charts berisi hal-hal yang dia ingin lakukan melalui Happiness Projectnya. Termasuk menuliskan beberapa prinsip untuk membantunya menentukan pilihan sehingga keputusannya tetap sejalan dengan Happiness Project yang ia jalani.
Semua hal tersebut mengingatkan saya bahwa kita semua memang perlu mendefinisikan apa yang membuat kita bahagia.
we need to take times to define what are the things that make us really happy otherwise we will base our happiness on other people’s life.
Sering kali kita terpengaruh dan mebandingkan kehidupan kita dengan orang lain tanpa kita sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya membuat kita bahagia. (salahin instagram! :b)
Banyak sekali cerita menarik dari buku tersebut. Beberapa poin berikut mungkin bisa jadi bahan renungan bagi kita semua:
There’s an I in happiness
Tidak bisa dipungkiri, berusaha mencari kebahagiaan untuk diri sendiri memang terdengar egois. Namun, justru hal inilah yang sering disalah-kaprahkan oleh orang lain. Working on our own happiness, isn’t a selfish act. Justru ketika kita memulai bahagia dari diri sendiri, kebahagiaan kita akan lebih mudah menular ke orang lain.
Being happy takes a lot of work.
Menjadi pribadi yang ceria dan positif bukanlah perkara mudah. Mereka yang selalu ceria bukan berarti tidak pernah mengalami masalah. Namun, mereka memilih untuk berbahagia di tengah berbagai masalah yang dihadapinya. Dan itu bukan pilihan mudah. Karena menjadi negatif biasanya lebih mudah daripada berusaha untuk berpikir positif.
Saya juga merasakan hal tersebut. Sering kali karena saya cenderung introvert dan menahan diri, ketika berkumpul dengan para extrovert yang riang dan lincah, saya juga jadi ikut ekspresif. Tanpa disadari, saya menyerap energi positif yang mereka pancarkan.
Buku tersebut menyadarkan saya bahwa memilih berbahagia masih sering kali dikonotasikan negatif oleh orang lain. Bahkan ada penelitian, yang menyebutkan bahwa orang yang terlihat bahagia cenderung dianggap bodoh oleh orang lain. Padahal, kita justru perlu mengapresiasi mereka karena memilih pilihan yang lebih sulit. Untuk memancarkan energi positif, di tengah kita yang memilih untuk menjadi kelabu dan serius demi image pribadi.
Money and health. The lack of them brings much more unhappiness than possessing them brings happiness.
Saya adalah salah satu orang yang setuju bahwa uang bisa memberi kita kebahagiaan. Namun, kebahagiaan tersebut bukan ditentukan oleh jumlahnya. Melainkan bergantung pada bagaimana kita mengatur dan menggunakannya.
Dalam buku tersebut, Gretchen mengingatkan bahwa uang punya keanehan yang sama seperti kesehatan. Kesengsaraan yang ditimbulkan jika kita tidak memilikinya terasa lebih besar dibanding kebahagiaan ketika kita memilikinya. Saya pikir, benar juga!
Sometimes (well, for me it’s often times), later become never.
Kita sering kali menyimpan sesuatu karena kita pikir akan menggunakannya di masa depan. Namun, akhirnya justru tidak pernah kita pakai sama sekali. Menahan antusiasme demi ekspektasi yang padahal belum tentu benar. Padahal menurut Gretchen, kita bisa memaksimalkan kebahagiaan ketika antusiasme kita masih tinggi.
Sama seperti pekerjaan. Banyak pekerjaan yang biasanya kita tunda karena berpikir bisa menyelesaikannya nanti. Padahal, jika kita punya waktu yang cukup untuk menyelesaikan hal tersebut sekarang, kenapa harus menunggu nanti?
Hal ini sering saya alami juga ketika mendapatkan ide tulisan. Sering kali ide tersebut hanya melintas, lalu saya abaikan begitu saja. Padahal, jika saya mau menuliskan sedikit saja konteks ide dan draft kasarnya, bisa saja tulisan tersebut saya kembangkan ketika saya punya lebih banyak waktu.
Membaca buku tersebut juga mengingatkan saya bahwa kebahagiaan bukanlah hal yang begitu saja datang tanpa kita melakukan apapun. Karena kebahagiaan justru hadir ketika kita merasa bahwa sesuatu berkembang dan menjadi lebih baik di hidup kita. Yang mana untuk mewujudkannya kita perlu mengolah diri, mempelajari hal-hal baru, dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Bulan Juli tahun ini banyak mengingatkan saya bahwa sudah terlalu lama saya berada di zona nyaman. Melakukan hal-hal yang sifatnya repetatif, enggan mencoba hal atau kebiasaan yang baru.
Membaca buku ini membawa saya ke memori ketika masih kuliah dulu. Saya tidak tahu bagaimana dengan yang lain. Namun yang saya rasakan, semakin dewasa saya malah semakin menjadi pribadi yang menahan diri. Mengikuti saja laju kehidupan tanpa bersemangat untuk mencoba berbagai hal dan bereksperimen dengan kehidupan.
Saya jadi berpikir untuk melanjutkan happiness project yang saya mulai di jaman kuliah dulu. Sepertinya menyenangkan! :D