Berbahagia dengan sepatu orang lain
Sometimes, you should try to get out of your own shoe.
Saya yakin kalian sudah pernah mendengar ungkapan “put yourself in other people’s shoes“. Namun sudahkah kalian benar-benar mencobanya? Kodrat manusia sebagai mahluk sosial menuntut kita untuk dipahami dan sebaliknya juga, memahami. Dan bagi saya, berada di “sepatu” mereka adalah salah satu cara untuk memahami.
Namun menanggalkan egoisme atas diri sendiri dan mencoba merasakan peran orang lain bukanlah hal mudah yang bisa begitu saja dilakukan oleh semua orang. Akan sulit untuk berpikir jernih saat ada dua peran dalam pikiran kita. Kita perlu lebih dulu melepaskan sepatu kita masing-masing untuk merasakan rasanya berada di sepatu orang lain.
You’re going to need to wear a lot of shoes
Kita mungkin seorang anak di rumah, seorang karyawan di kantor, seorang teman bagi orang lain. Tapi pernahkah kalian benar-benar mencoba berada di “sepatu” orang tuamu, atasanmu atau mungkin, temanmu? Saat mencoba merasakan rasanya berada di sepatu orang tuamu, mungkin kalian akhirnya akan sadar mengapa ayahmu melarang kalian kuliah di luar kota. Atau saat mencoba merasakan berada di sepatu atasanmu, mungkin kalian akhirnya akan memahami mengapa atasanmu menolak idemu saat rapat pagi ini. Atau saat kalian mencoba merasakan rasanya berada di sepatu temanmu, maka kalian akan sadar bahwa tak seharusnya kalian mengatakan kata-kata yang ternyata melukainya.
Kemampuan untuk berganti sepatu seperti itu akan melatih sikap empati seseorang yang kemudian akan membuatnya lebih mudah memahami. Bayangkan jika semua orang berkompromi untuk memahami satu sama lain. Seorang pemimpin memahami rakyatnya, rakyat juga memahami pemimpinnya. Maka perdamaian juga akan lebih mudah terwujud.
When you put yourself in other people’s shoes, you will find yourself less complaining, less angry, and even more understanding.
Selain melatih sikap empati, berada di sepatu orang lain juga bermanfaat jika kalian ingin mengevaluasi diri sendiri. Untuk hal ini, perspektifnya berbeda lagi. Bayangkan hidup kalian adalah sebuah film dan kalian menontonnya dari kursi bioskop. Kalian harus berada di sepatu orang lain ketika ingin benar-benar adil dalam memberi penilaian terhadap film tersebut. Kalian harus benar-benar pergi meninggalkan peran kalian dalam film tersebut untuk bisa mengevaluasinya secara adil.
Saat kalian akhirnya berhasil menanggalkan sepatu kalian, maka kalian akhirnya akan bisa melihat diri kalian dari sudut pandang yang sama seperti orang lain. Resikonya adalah, mungkin kalian akan merasa diri kalian tidak sespesial yang kalian pikirkan. Tapi jangan khawatir. Dari pengalaman tersebut kalian akan membawa bekal bahan evaluasi yang bisa kalian perbaiki saat kalian kembali berada di sepatu kalian masing-masing.