Main ke Seattle
Above all things, get aboard, see the sunlight and everything that is to be seen - Painter John Singer Sargent
Jika kamu pernah menyukai seseorang tanpa tahu alasan pastinya, mungkin kamu paham apa yang aku rasakan terhadap kota Seattle. Dari sekian banyak kota di negeri paman sam, tidak ada ada satu pun yang ingin aku kunjungi sebesar keinginanku mengunjungi Seattle. Entah sejak kapan aku mengagumi kota ini. Mungkin salah satunya karena lagu yang dibawakan Owl City yang dulu sempat ku gandrungi.
Di bulan Juni kemarin, akhirnya kekagumanku terbayar sudah. Karena ada acara kantor yang membuatku harus ke San Fransisco meskipun harus merelakan momen lebaran bersama keluarga di rumah, aku jadi berpikir bahwa aku tidak mau rugi. Akhirnya terpikirlah bahwa ini bisa menjadi kesempatan emas untuk sekalian mampir ke kota idamaku, Seattle.
Memasuki pesawat lanjutan dari Narita Airport, aku tersenyum memandangi 2 bangku kosong di sampingku. Mendapat sebaris bangku kosong di penerbangan selama 9 jam merupakan anugerah tersendiri. Aku menganggap ini sebagai sebuah pertanda baik.
Namun tiba di Seattle Tacoma (Seatac) Airport, aku ternyata malah disambut mendung dan gerimis sedang. Sembari naik kereta Sound Transit menuju penginapanku di daerah International District, perlahan aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mulai sibuk memeriksa berbagai notifikasi yang kulewatkan selama penerbangan. Namun sejurus kemudian aku tersadar. Untuk apa aku ke Seattle jika hanya untuk memandangi ponsel seperti biasa? Ponsel pun ku simpan dan kulemparkan pandanganku ke luar jendela.
Berbagai jaringan hotel internasional berjejeran di depan stasiun kereta di Seatac Airport. Begitu kereta mulai berjalan, aku bisa melihat jalan bebas hambatan khas Amerika yang terlihat sangat lebar dan tak berujung namun tetap teratur. Kereta kami juga melewati beberapa kawasan pemukiman warga yang menurutku tak begitu padat.
Bahkan kota ini terkesan sepi jika dibanding kota lain di negeri paman sam yang pernah kukunjungi sebelumnya seperti San Fransisco atau Los Angeles. Sesekali rel yang kulewati sejajar dengan jalan raya sehingga aku bisa melihat beberapa pengendara mobil silih berganti meluncur di jalanan Seattle yang basah terkena gerimis. Suasana gerimis seperti ini membuat Seattle terlihat sendu.
Begitu kereta melewati terowongan dan tak ada yang bisa kulihat dari jendela, aku jadi beralih memikirkan harus pergi kemana esok hari. Jujur aku masih tak punya rencana perjalanan yang pasti. Tak seperti pengagum rahasia yang biasanya tahu semua hal tentang pujaannya, aku tak punya banyak pemahaman tentang kota Seattle. Satu-satunya tempat yang aku tahu harus kukunjungi hanya si menara jarum angkasa alias Needle Space.
Akhirnya setelah malam sebelumnya mencari tahu di internet, aku memutuskan untuk pergi ke daerah University Street yang dekat dengan berbagai pusat wisata dan perbelanjaan. Namun keluar dari stasiun, aku justru berakhir mengunjungi supermarket yang terletak di ujung jalan dari stasiun pemberhentianku. Tak biasanya aku berbelanja ketika travelling kecuali untuk membeli buku dan oleh-oleh. Namun kali ini memang ada beberapa daftar belanjaan yang ingin kubeli. Akhirnya keluar dari supermarket aku malah jadi mengutuk diri sendiri begitu sadar harus menenteng barang belanjaan sambil berjalan-jalan seharian.
“Bodoh sekali” pikirku dalam hati.
Seattle Art Museum (SAM) yang hanya berjarak satu blok dengan supermarket yang kukunjungi jadi tujuanku berikutnya. Aku berpikir museum pasti punya tempat penitipan barang sehingga aku bisa terbebas dari tas belajaanku untuk paling tidak 2-3 jam ke depan. Selain itu, 2 tahun terakhir ini aku memang sedang menggandrungi wisata museum seni.
Area lobi SAM yang memang sudah memiliki langit-langit yang tinggi terlihat lebih megah dengan hiasan karya seni Middle Fork karya John Grade. Setelah membeli tiket dan menitipkan belanjaanku, aku pun mulai masuk ke area pameran.
Layaknya museum seni modern & kontemporer di kota besar lainnya, SAM punya koleksi yang cukup banyak. Menyadari betapa besarnya museum ini, aku jadi meratapi kesalahan keduaku untuk tak makan siang dulu. Mengelilingi museum yang memiliki 4 lantai dan memperhatikan karya seni yang kadang kali memeras otak untuk dimengerti pasti akan melelahkan.
Namun mengunjungi museum masih tetap menyenangkan. Apalagi ketika menemukan koleksi yang ditata apik menjadi satu kesatuan yang eye-pleasing. Salah satunya yang kutemukan di sini adalah Wyckoff Porcelain Room. Diletakan di bagian European Art, Porcelain Room ini merupakan gabungan budaya Asia dengan Eropa yang ditata apik di dinding sehingga terlihat seperti pendaran cahaya jika dilihat dari kejauhan.
Sorenya sebagai formalitas, aku pun mengunjungi Space Needle. Meskipun tak banyak yang kulakukan di sini selain berfoto dan menikmati taman yang mengelilingi area landmark kota ini.
Esoknya setelah mendapat info dari teman sekamarku di hostel, aku lalu memutuskan untuk pergi ke Pike Market untuk mengunjungi toko Starbucks yang pertama. Untungnya aku pergi pagi-pagi sehingga antriannya belum begitu mengular. Siapa yang menyangka merek Starbucks ternyata bermula dari sebuah kedai kopi kecil di kawasan pasar tradisional. Di bagian depan toko, masih terpampang logo mereka yang pertama. Puteri duyung dengan 2 ekor yang ia tarik di sisi kanan dan kirinya. Tangan si puteri menahan kedua ekornya sejajar dengan tubuh sehingga membuatku berpikir si puteri mungkin sedang berlatih yoga dengan pose seperti itu. Teks melingkar dalam logo orisinal tersebut bertuliskan “Starbucks. Cofee Tea Spices”. Aku tak bisa menahan tawa kecil ketika membayangkan jika Starbucks di Indonesia menjual kopi, teh, dan rempah-rempah.
Tak seperti toko Starbucks di gerai yang lain yang rapi, toko pertama ini justru dipenuhi kardus di sana sini. Tokonya tak begitu besar dengan bar di sebelah kanan dan rak suvenir khas Starbucks di sebelah kiri. Seperti biasa, aku memesan minuman favoritku, green tea latte. Meskipun hanya berdua, barista di ujung ruangan terlihat tetap semangat melayani pengunjung yang kian hari justru makin ramai.
Setelah mendapatkan segelas green tea latte untuk menemaniku menjelajahi pasar, aku pun mulai menyusuri Pike Market. Termasuk salah satu farmer’s market tertua yang masih beroperasi di Amerika Serikat, tentu saja pasar ini dipenuhi pengunjung. Di main level lebih banyak terdapat penjual bahan-bahan mentah seperti ikan, sayur, dan bumbu dapur. Namun menuruni tangga ke level di bawahnya, kita bisa menemukan beragam toko yang lebih unik seperti toko peralatan sulap, toko koin antik, maupun toko khusus kertas & buku-buku kuno.
Terakhir, aku juga menyempatkan diri mengunjungi The Museum of Flight di kawasan industri Boeing. Mengamati pameran Misi Apollo dan mendapati 940 koleksi miniatur pesawat tempur zaman perang dunia I dan II tak pelak membuatku terkagum-kagum atas kemajuan teknologi penerbangan selama ini.
Dalam perjalanan pulang menuju ke Seatac Airport, aku kembali memfokuskan pandanganku menikmati pemandangan kota Seattle untuk terakhir kalinya sebelum kembali ke San Fransisco. Perlahan, aku juga membayangkan kembali perjalananku 2 hari terakhir di kota ini. Starbucks di setiap sudut kota. Burung-burung yang berterbangan dengan bebas dan hinggap di sana-sini seakan ingin diakui bahwa mereka juga penduduk kota tersebut. Menyebrangi danau Washington untuk menuju kawasan Bellevue ditemani hujan. Atau menanjaki jalanan berpaving di Post Alley ditemani gerimis.
Namun daripada mengunjungi landmark kota Seattle atau berbagai museum lainnya, yang paling berkesan bagiku dari perjalanan kali ini justru ketika aku mengunjungi sebuah toko buku kecil di Pike Market. Pemiliknya yang pandai bernyanyi tak henti-hentinya menyapa pengunjung dengan sapaan yang diberi nada. Membuatku betah berlama-lama memilih buku sambil mendengar senandungnya.
Lalu akhirnya melewati kawasan Tukwila Boulevard yang dilengkapi pemandangan pohon pinus yang hijau membuatku tersadar. Sepertinya sekarang aku mulai paham mengapa aku jatuh cinta pada kota ini. Seattle punya sudut pandang yang luas. Ia seakan tidak ingin menyimpan rahasia dan dengan leluasa menyuguhkan semua kecantikannya mulai dari pelabuhan, gedung-gedung tinggi di tengah kota, maupun gunung Reiner yang terletak tak begitu jauh dari kota ini. Bahkan meskipun sering terlihat mendung karena gerimisnya, langit Seattle pun bisa terlihat sangat cantik ketika cerah. Langit cantik dan alam yang hijau, sepertinya memang akan selalu menjadi kombinasi yang membuatku mudah jatuh hati.