[Review] The shallows

“We shape our tools,” observed the Jesuit priest and media scholar John Culkin in 1967, “and thereafter they shape us.”

Argumen untuk mendukung teknologi internet biasanya didasarkan dengan alasan bahwa dengan adanya internet, kita dapat mengakses informasi dengan lebih cepat dan mudah. Namun argumen tersebut mengabaikan kenyataan bahwa kemudahan akses tersebut tidak berbanding lurus dengan ketepatan penggunaannya. Dengan kata lain, memang benar bahwa dewasa ini, kita dapat mengakses informasi dengan lebih mudah dan cepat berkat adanya internet. Namun, apakah kita yakin informasi yang kita dapatkan tersebut adalah informasi yang tepat dan bermanfaat bagi kita?

Meyakini argumen di awal tadi begitu saja, kita berarti otomatis berprasangka baik pada segala informasi yang kita jumpai melalui internet. Dan sudah terbukti, bahwa keyakinan inilah yang banyak terjadi di masyarakat sehingga sekarang ini, berita bohong pun dengan sangat mudah tersebar.

Mengutip analogi yang sering digunakan pak Gita Wirjawan di kanal YouTube-nya, pipa-pipa informasi ini memang sudah mulai terbangun dengan baik. Namun, tugas kita selanjutnya adalah bagaimana kita bisa memastikan bahwa air yang mengalir dari pipa-pipa tersebut adalah air bersih yang bermanfaat bagi masyarakat luas, bukannya air keruh yang malah bisa mengganggu kesehatan mereka.

Analogi pipa tadi juga memudahkan kita untuk memahami sisi lain dari teknologi internet. Bahwasanya, jika pipa tersebut bisa digunakan untuk menyalurkan air bersih, maka, bukan tidak mungkin jika pipa tersebut juga bisa digunakan untuk meracuni masyarakat luas. Bagaimana kita tahu bahwa air yang mengalir dari pipa tersebut adalah air bersih yang aman untuk kita konsumsi? Bagaimana kita tahu bahwa aliran informasi dari berbagai media digital yang sehari-hari kita konsumsi merupakan informasi yang bermanfaat bagi kita dan bukan upaya doktrinisasi dari si penyedia informasi? Lagi-lagi, kita dianjurkan untuk perprasangka baik pada siapapun yang memegang kendali atas pipanisasi tersebut.

… in the long run a medium’s content matters less than the medium itself in influencing how we think and act. As our window onto the world, and onto ourselves, a popular medium molds what we see and how we see it—and eventually, if we use it enough, it changes who we are, as individuals and as a society.

Sekilas, permasalahan teknologi (khususnya internet) ini seperti terbatas pada permasalahan konten saja. Padahal, tanpa kita sadari, permasalahan yang lebih besar justru terjadi pada level medium yang mana efeknya berkorelasi secara langsung pada perkembangan budaya dan bahkan evolusi kita sebagai manusia.

The computer, I began to sense, was more than just a simple tool that did what you told it to do. It was a machine that, in subtle but unmistakable ways, exerted an influence over you. The more I used it, the more it altered the way I worked.

Buku The Shallows karya Nicholas Carr ini menerangkan dengan begitu fasih tentang bagaimana perubahan mental model (cognitive shifting) terjadi pada manusia sejak adanya internet.

Dengan net literacy yang kita punya sekarang ini, kita cenderung mengandalkan teknologi internet untuk memecahkan segala permasalahan yang membutuhkan proses berpikir. Padahal, secara harfiah kita punya insting untuk berpikir berdasarkan akal dan logika serta kemampuan untuk menyimpan atau mengingat informasi. Perlahan tanpa kita sadari, hal itulah yang dimatikan oleh ketergantungan kita terhadap teknologi.

Jika dianalogikan, ini mirip dengan apa yang terjadi terhadap permainan puzzle dan lego. Ketika bermain puzzle, kita bisa menentukan sendiri bagian mana yang kita kenali dan menyelesaikan puzzlenya dari bagian tersebut terlebih dahulu. Hal ini mengasah otak kita untuk berpikir, berkontemplasi, dan membuat korelasi dari informasi yang sudah kita miliki ke hal lain yang baru kita pelajari.

Berbeda dengan ketika kita bermain lego. Satu set lego biasanya berisi petunjuk tentang cara membangun set tersebut. Yang mana akhirnya, dalam membangun lego, kita hanya diajarkan untuk mengikuti petunjuk, tanpa harus mencari penyelesaian masalahnya sendiri.

Dalam kata lain, puzzle melatih kita untuk berpikir, sedangkan lego melatih kita untuk mengikuti sistem. Sebagai disclaimer, analogi ini bukan dikutip dari buku melainkan saya buat sendiri untuk menjelaskan bagaimana pergeseran metode itulah yang terjadi secara perlahan di era internet sekarang ini. Semakin kita menggantungkan pemikiran kita pada internet, maka kita semakin terbiasa untuk mengikuti sistem algoritma komputer dan pada akhirnya, menanggalkan fungsi kognitif otak kita sebagai manusia.

That’s the essence of Kubrick’s dark prophecy: as we come to rely on computers to mediate our understanding of the world, it is our own intelligence that flattens into artificial intelligence.

Sekilas, buku ini mungkin terkesan seperti blasphemy terhadap teknologi. Namun, menurut saya, memang penting untuk mengetahui hal ini untuk bisa menerima teknologi dengan kesadaran lebih. Dengan begitu, sebagai pengguna kita tidak hanya bisa menerima dengan begitu saja apa saja kemudahan yang teknologi tawarkan, namun juga memahami betul akan konsekuensi apa yang ditimbulkan dari proses adopsi teknologi tersebut.

Bagaimana cara otak berpikir

As McLuhan suggested, media aren’t just channels of information. They supply the stuff of thought, but they also shape the process of thought. And what the Net seems to be doing is chipping away my capacity for concentration and contemplation. Whether I’m online or not, my mind now expects to take in information the way the Net distributes it: in a swiftly moving stream of particles.

Buku ini diawali dengan kekhawatiran penulis akan pergeseran gaya membaca masyarakat kekinian yang lebih menyukai konten yang ringkas dan terbukti lebih sulit untuk membaca buku konvensional karena buku dianggap membutuhkan konsentrasi mendalam. Hal ini membuktikan kecurigaan sebelumnya bahwa teknologi bukan hanya mengubah cara kita mengakses informasi, namun juga mengubah pola pikir kita terhadap informasi. Karena terbiasa dengan cara kita mengakses informasi pada internet yang cenderung sporadis dan tidak beraturan, perlahan-lahan, kita jadi kesulitan untuk berpikir secara linear.

“The current explosion of digital technology not only is changing the way we live and communicate but is rapidly and profoundly altering our brains,”

Penulis kemudian mengajak kita untuk memahami terlebih dahulu bagaimana cara otak kita memfasilitasi proses berpikir. Merujuk pada beberapa penelitian, penulis berkesimpulan bahwa otak manusia bukanlah organ yang strukturnya konkrit, melainkan organ yang akan terus tumbuh membangun sinapsis baru dan juga memudarkan sinapsis lama yang tidak relevan lagi, sejalan dengan pengalaman dan pengetahuan baru yang dialami oleh pemiliknya.

“The brain,” observes Olds, “has the ability to reprogram itself on the fly, altering the way it functions.”

Diceritakan dalam buku tersebut, bahwa dalam suatu eksperimen di awal 1970, Eric Kandel, seorang biologis pemenang Nobel Prize, melakukan eksperimen untuk meneliti cara kerja otak yang dilakukan pada siput laut yang disebut Aplysia. Kandel kemudian menemukan bahwa ketika kita menyentuh insangnya, insang tersebut akan otomatis merapat. Namun, ketika kita menyentuhnya beberapa kali tanpa menyakitinya, siput laut akhirnya mulai terbiasa dengan sentuhan tersebut dan akhirnya belajar untuk mengabaikannya.

Our ways of thinking, perceiving, and acting, we now know, are not entirely determined by our genes. Nor are they entirely determined by our childhood experiences. We change them through the way we live—and, as Nietzsche sensed, through the tools we use.

Penemuan ini pun memberikan titik temu antara sudut pandang empiris dan rasionalis. Para empiris seperti John Locke meyakini bahwa semua manusia dilahirkan seperti selembar kertas putih. Apa yang kita tahu, seluruhnya kita pelajari dari pengalaman hidup kita. Dalam kata lain, we are the products of nurture, not nature. Sedangkan para rasionalis seperti Imanuel Kant percaya bahwa kita lahir dengan seperangkat mental model baku yang kemudian menentukan bagaimana kita memandang dunia.

Sebagai manusia, gen kita memang menentukan bagaimana sinapsis di otak kita terhubung secara baku sejak awal (sejalan dengan sudut pandang rasionalis). Namun pada akhirnya, pengalaman kita juga memiliki kemampuan untuk meregulasi ulang koneksi tersebut maupun menciptakan koneksi sinapsis baru sesuai dengan apa yang kita pelajari (sejalan dengan sudut pandang empiris).

Sejarah teknologi intelektual

Through what we do and how we do it—moment by moment, day by day, consciously or unconsciously—we alter the chemical flows in our synapses and change our brains. And when we hand down our habits of thought to our children, through the examples we set, the schooling we provide, and the media we use, we hand down as well the modifications in the structure of our brains.

Selanjutnya Nicholas Carr menjelaskan tentang bagaimana sejarah mengajarkan bahwa perkembangan teknologi biasanya diikuti dengan perubahan etika intelektual tentang bagaimana kita selayaknya berpikir sebagai manusia. Penemuan alat berburu dan perkembangan teknologi agrikultur mengubah pola perkembangan populasi manusia dan bagaimana kita tinggal (contohnya, yang tadinya berpindah-pindah menjadi menetap) atau pilihan pekerjaan (yang tadinya berburu jadi bertani). Perkembangan moda transportasi juga kemudian memungkinkan kita untuk melakukan ekspansi perdagangan.

Secara khusus, penulis salah satunya menjadikan perkembangan teknologi GPS sebagai contoh. Sebelum adanya GPS, para pengemudi taksi dituntut untuk dapat menghapal jalan untuk mempermudah pekerjaannya. Penelitian bahkan lebih jauh membuktikan bahwa pengalaman bertahun-tahun menjadi pengemudi taksi pada zaman pra-GPS, bisa mengubah sirkuit neural dan struktur otak khususnya pada bagian posterior hippocampus yang berperan untuk menyimpan dan memanipulasi representasi spasial dari keadaan sekitar.

David Levy, in Scrolling Forward, a book about our present-day transition from printed to electronic documents, notes that literate people “read all day long, mostly unconsciously.” We glance at road signs, menus, headlines, shopping lists, the labels of products in stores. “These forms of reading,” he says, “tend to be shallow and of brief duration.” They’re the types of reading we share with our distant ancestors who deciphered the marks scratched on pebbles and potsherds. But there are also times, Levy continues, “when we read with greater intensity and duration, when we become absorbed in what we are reading for longer stretches of time. Some of us, indeed, don’t just read in this way but think of ourselves as readers.”

Contoh terobosan teknologi lain adalah ketika manusia berhasil menciptakan kemampuan baca tulis. Kemampuan tersebut bukanlah kemampuan alami, yang berarti sebagai manusia, kita memerlukan usaha secara sadar untuk membentuk otak kita supaya mampu melakukan kegiatan tulis-menulis maupun membaca.

Secara khusus dalam hal membaca buku, manusia perlu kemampuan untuk berkonsentrasi pada satu hal secara intens dalam jangka waktu lama. Membangun disiplin mental seperti itu bukanlah upaya yang mudah. Apalagi untuk menjadikannya bagian dari peradaban budaya sampai akhirnya kegiatan tersebut menjadi hal yang lumrah seperti sekarang ini.

Dalam hal ini, pergeseran budaya membaca menjadi hal yang menggelisahkan karena kita dibayangi oleh kemunduran budaya dan kemampuan literasi yang kita bangun dengan susah payah sejak era Gutenberg.

They will increasingly tailor their work to a milieu that the essayist Caleb Crain describes as “groupiness,” where people read mainly “for the sake of a feeling of belonging” rather than for personal enlightenment or amusement.

Belum lagi, mental model kita dalam membaca sudah terlanjur berbeda dalam era internet ini. Apalagi sejak adanya media sosial. Kegiatan membaca sekarang lebih erat kaitannya dengan kegiatan komunal (membaca group whatsapp, membaca caption media sosial) daripada kegiatan privat seperti pada era membaca buku secara konvensional. Membaca pun sekarang berubah fungsi, yaitu untuk memelihara social standing kita di masyarakat. We risk ourselves to be invisible for not taking part on technology.

The Net’s cacophony of stimuli short-circuits both conscious and unconscious thought, preventing our minds from thinking either deeply or creatively. Our brains turn into simple signal-processing units, quickly shepherding information into consciousness and then back out again.

Jika dibandingkan, otak pembaca buku terbukti memiliki banyak aktivitas di bagian yang berasosiasi dengan bahasa, memori, pemrosesan visual, namun tidak menunjukan banyak aktifitas pada bagian prefrontal yang berasosiasi dengan decision making dan penyelesaian masalah. Sedangkan pengguna internet pada umumnya, secara kontras, menunjukan aktivitas intens pada hampir semua bagian otak tersebut ketika mereka menjelajahi internet.

If we hope for a democratic future of serious thought and dialogue rather than mutual condemnation, we need reflective and critical citizens. For that, we need physical, touchable, serious books. - Stephen L. Carter from Bloomberg

Ketika membaca buku, informasi tersedia secara stabil dan kita pun memiliki kendali penuh untuk menetukan berapa banyak informasi yang ingin kita serap dengan mengatur kecepatan baca kita. Sedangkan ketika berselancar di internet, informasi tersedia secara sporadis dari berbagai penjuru sehingga kita jadi terburu-buru dalam mengkonsumsi informasi. Konsekuensinya, kita pun hanya bisa menyerap sedikit informasi dari proses tersebut.

Pada akhirnya, kebiasaan baru inilah yang menyebabkan kita mengalami kemunduran dalam bidang literasi seperti kutipan buku berikut ini:

What we’re experiencing is, in a metaphorical sense, a reversal of the early trajectory of civilization: we are evolving from being cultivators of personal knowledge to being hunters and gatherers in the electronic data forest.

Penggunaan otak sebagai penyimpanan

As our use of the Web makes it harder for us to lock information into our biological memory, we’re forced to rely more and more on the Net’s capacious and easily searchable artificial memory, even if it makes us shallower thinkers.

Memang tak bisa dipungkiri, peran internet sekarang ini semakin menjadi dominan. Sebagai pengguna, kita merasa semakin dimanjakan dengan perkembangan teknologi ini. Namun, penulis mengingatkan di beberapa bab terakhir dalam buku ini bahwa teknologi memang mempermudah hidup kita. Namun di sisi lain, mereka juga memati-rasakan bagian tubuh kita yang perannya mereka gantikan (jika tidak perkuat).

Salah satunya adalah kegiatan mengingat atau menyimpan informasi. Ketika kita bisa mencari dengan mudah informasi apa saja yang kita perlukan, untuk apa kita repot-repot mengingat?

Padahal, memori digital dan memori otak kita tentu saja berbeda. Contohnya, memori biologi kita memiliki kapasitas tidak terbatas. Dan, jika kita memahami cara kerja short-term memory dan long-term memory, kita pun semestinya paham bahwa cara kerja otak kita dalam menyimpan memori memang unik. Maka dari itu, sayang sekali jika kita lalu tidak memaksimalkan potensi otak kita sendiri karena ketergantungan kita pada teknologi.

Lalu apa?

It would be rash to jump to the conclusion that the Internet is undermining our moral sense. It would not be rash to suggest that as the Net reroutes our vital paths and diminishes our capacity for contemplation, it is altering the depth of our emotions as well as our thoughts.

Pada akhirnya, memang mudah untuk berkesimpulan bahwa teknologi semestinya bersifat netral sehingga baik buruknya bergantung pada cara kita menggunakannya. Namun, kesimpulan tersebut lagi-lagi mengandung asumsi bahwa sebagai pengguna, kita akan otomatis tahu bagaimana menggunakan teknologi tersebut dengan bijak untuk mencapai tujuan kita. Padahal, kesadaran penggunaan teknologi sering kali tidak terbangun dengan begitu saja. Bahkan, keputusan penggunaannya sering kali di luar kendali kita. Apakah kita pernah secara sadar memilih untuk menggunakan smartphone, seolah-olah kita punya pilihan untuk tidak menggunakannya? Memang bisa saja kita tidak menggunakannya, dan terbukti masih ada banyak orang di dunia ini yang baik-baik saja tanpa smartphone. Namun kekonyolan pertanyaan ini sama seperti kekonyolan pertanyaan tentang apakah kita bisa hidup tanpa bekerja? Pilihannya berada di antara kepemilikan privilese yang tinggi untuk membebaskan kita menentukan pilihan atau menolak sepenuhnya dan hidup seperti Diogenes.

Teknologi memang semakin tidak dapat dihindari. Namun, dengan mengetahui konsekuensinya seperti ini, kita jadi punya kesadaran lebih untuk menentukan penggunaannya. Kita juga jadi punya wawasan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan yang kita punya, dan bukannya mengikuti apa saja informasi dan rekomendasi hasil algoritma komputer yang tersaji tanpa tahu etika seperti apa yang mereka gunakan untuk menghasilkan informasi dan rekomendasi tersebut.

We shouldn’t allow the glories of technology to blind our inner watchdog to the possibility that we’ve numbed an essential part of our self.

Yang tak kalah penting, kita juga perlu ikut mengawasi bagaimana perkembangan teknologi diregulasi. Ketika hidup berjuta umat manusia dipengaruhi oleh segelintir korporasi besar, kita perlu ikut mengawasi pergerakan mereka. Seperti yang sudah saya sampaikan di awal tadi, penting untuk tidak berprasangka baik dalam hal ini agar kita tidak bisa begitu saja diperdaya demi kepentingan kapitalis mereka.


Membaca buku ini, saya jadi teringat pada perasaan ketika membaca buku How to do nothing, yang mana merupakan salah satu buku favorit saya. Bedanya, Jenny menggunakan pendekatan fisolofis dan budaya, sedangkan Nicholas cenderung menggunakan pendekatan filosofis dan sejarah.

Secara keseluruhan, saya yakin The Shallows adalah buku yang sangat menarik bagi kalian yang memiliki skeptisme (atau mungkin malah pandangan sinis) terhadap teknologi. Dan tentu saja, dalam era di mana peran teknologi internet semakin mendominasi kehidupan kita, pesan buku ini jadi lebih penting untuk diketahui lebih banyak orang.

Book info
Title: The Shallows
Author: Nicholas Carr
Goodreads page: https://www.goodreads.com/book/show/9778945-the-shallows

Photo by Maxim Ilyahov on Unsplash