Teori buku & manusia

Beberapa waktu yang lalu saya terpikir satu teori baru. Bahwa setiap manusia/jiwa itu ibarat sebuah buku yang memiliki cerita masing-masing & perlu dibaca untuk dimengerti. Semakin banyak pengalamannya, semakin tebal pula halamannya.

Dan seperti layaknya sebuah buku, kita hanya akan bisa memahami isinya jika sudah selesai membaca buku tersebut. Namun bedanya, membaca manusia tidaklah semudah membaca buku karena cerita yang ada di kehidupan kita tak berbentuk tulisan melainkan ada di dalam diri kita masing-masing. Elemen lain seperti karakter, sikap, dan perilaku kita sehari-hari ibaratnya hanyalah sampul belaka. Masih ada lebih banyak cerita dan ilmu yang bisa kita dapatkan jika kita mau meluangkan sejenak waktu untuk membacanya.

Disinilah peran komunikasi menjadi perantara “membaca” diantara kita. Masing-masing buku (diri kita masing-masing), hanya bisa membaca buku lain (orang lain) melalui komunikasi. Namun meskipun terdengar mudah, komunikasi bukanlah suatu hal yang sederhana. Belum lagi karena komunikasi yang saya maksud disini bukan hanya komunikasi yang sekedar di permukaan. Melainkan yang lebih dalam dari sekedar saling menyapa.

Becuase you need fewer things in your life, and more people than you think you do.

Karena kita hidup dalam lingkungan sosial, sudah pasti kita perlu “membaca” satu sama lain. Dan untuk bisa dimengerti, kita harus memberi celah bagi orang lain untuk membaca diri kita. Begitupun sebaliknya. Kita pun perlu mencari celah untuk “membaca” buku orang lain karena itulah esensi hidup bersama, untuk saling mengerti._ 

Karena ingatlah, dalam hidup ini kita akan membutuhkan lebih banyak orang daripada barang-barang yang kita anggap akan kita perlukan._** **

Son : Mom, I know that you love me very much.

Mom : Of course I love you very much. Did you doubt it?

Son : No, but I really know how you love me because whenever I want to talk to you about something you stop whatever you are doing and listen to me.
Di atas adalah adalah salah satu potongan cerita dari buku yang pernah saya baca. Saya pikir cerita tersebut bisa menggambarkan bagaimana proses seorang anak “membaca” ibunya melalui komunikasi tersirat dari cara si ibu memperlakukan anaknya.

Jadi, karena otak manusia lebih kompleks dari pada isi buku maka cara membacanya pun akan lebih bervariasi. Namun yang tak kalah penting dari cara membacanya adalah, kita perlu mengingat bahwa kita harus menyeimbangkan bacaan kita. Karena ada 2 bacaan penting dalam kehidupan manusia yaitu buku kita sendiri serta buku orang lain di sekitar kita.

Jujur, selama ini saya merasa sudah terlalu lama menghabiskan waktu untuk membaca buku saya sendiri (meskipun belum sepenuhnya selesai.) Padahal, membaca buku orang lain juga perlu. Maka dari itu, salah satu keinginan saya saat ini adalah untuk membaca lebih banyak buku lain, terutama keluarga saya.

Ketika saya sadar kehadiran orang lain lebih berharga daripada harta apapun, saya jadi memikirkan kembali apa yang lebih banyak saya lakukan di masa lalu. Saya pun merasa banyak kehilangan waktu untuk “membaca” keluarga saya sendiri. Awal bulan ini ketika saya menghabiskan waktu seminggu di rumah, saya mencoba untuk lebih banyak mendengar cerita keluarga saya (terutama papah dan ibu). Dan seketika itu pula, saya merasa “aah, jadi itu yang selama ini mereka rasakan.”

Namun di sisi lain, ada pula tipe orang yang hanya mementingkan untuk membaca buku orang lain daripada bukunya sendiri. Mendedikasikan hari-harinya untuk mengerti orang lain namun dirinya sendiri malah kurang dia perhatikan. Padahal, untuk menjalani hidup dengan bahagia, kita harus menyeimbangkan bacaan buku kita sendiri dengan buku orang lain._ Remember, you’re not living in this world alone, right?_

Maka dari itu, bacalah buku-buku kehidupan itu dengan seksama. Jika selama ini kalian merasa belum mengerti diri sendiri, habiskanlah lebih banyak waktu untuk membaca buku kalian sendiri. Atau sebaliknya, kalian juga bisa mencoba melakukan hal yang sedang saya lakukan. Membaca lebih banyak buku milik orang lain. Karena dengan begitulah perlahan kita akan menyadari bahwa kita semua hanyalah sesama buku yang sama-sama ingin dipahami. ((: