[Review] Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan

2021-01-18_03-21-38

“Perempuan tidak pernah dididik untuk mengambil keputusan, untuk bertanya kepada dirinya apa yang sesungguhnya ia inginkan. Perempuan kehilangan kemampuanya untuk mendengarkan suara hati karena tidak pernah diberi kesempatan untuk menelisik ke dalam diri.”

Kiranya, itulah premis utama dari buku ini. Sang penulis, Ester Lianawati, adalah seorang psikolog yang sekarang aktif menjadi peneliti di Hypatia, sebuah Pusat Kajian Psikologi dan Feminisme di Perancis. Tidak heran jika buku ini kemudian lebih banyak membahas feminisme dari sisi psikologi. Bukan berarti itu menjadi masalah, karena justru menurut saya itulah yang membuat buku ini menjadi lebih menarik.

Persoalan perempuan adalah refleksi permasalahan dalam struktur masyarakat luas.

Terdiri dari 3 bab, bab pertama lebih kental membahas tentang psikologi feminis. Di sini penulis banyak membahas dan membandingkan teori-teori psikologi laki-laki dan perempuan. Salah satunya adalah teori Sigmund Freud mengenai perkembangan seksual manusia yang kemudian menyebabkan Kompleks Oedipus. Penulis beranggapan bahwa teori Freud tersebut cenderung negatif dalam memandang perkembangan psikis perempuan.

Ia lebih sependapat dengan Sabina Spielrein, seorang psikiater dan dokter anak asal Rusia, yang juga merupakan salah satu psikoanalis perempuan pertama di dunia. Spielrein lebih melihat psike perempuan bersifat aktif dan dinamis, dengan empati sebagai salah satu karakteristik penting.

Ketika kita meyakini bahwa otak manusia berbeda, bergantung pada jenis kelamin, kita melihat otak sebagai sesuatu yang bersifat kodrat.

Hal lain yang menarik dari bab pertama adalah pembahasan otak dan determinasi biologis yang membahas tentang mengapa perempuan dan laki-laki memiliki karakteristik berbeda. Contohnya, banyak yang beranggapan bahwa laki-laki lebih cenderung berpikir menggunakan logika, sedangkan perempuan lebih sering menggunakan perasaan. Hal ini membuat kita jadi memandang jika otak bersifat kodrat, atau sesuatu yang sudah memang ditakdirkan seperti itu.

Padahal, selain memang sebagai organ biologis, ada banyak faktor sosio kultural yang mempengaruhi pembentukan otak. Interaksi anak dengan lingkungan sosialnya, bagaimana ia dibesarkan, faktor sosial ekonomi, serta faktor pendidikan, semua hal tersebut mempengaruhi pembentukan pemikiran kita. Itulah kenapa kita akhirnya punya persepsi berbeda akan perempuan dan laki-laki. Padahal pada dasarnya, otak kita bisa dibilang gender-neutral. Untungnya, kita juga punya kesempatan untuk memperbaikinya karena dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa otak merupakan organ dinamis yang akan terus berevolusi sepanjang hidup.

Jika melihat otak manusia, kita tidak akan dapat menebak otak itu milik laki-laki atau perempuan. - Catherine Vidal (2013)

Dengan memberi pemahaman dari sisi psikologi dalam bab pertama, buku ini seakan memberikan jawaban tentang mengapa perempuan menjadi punya pengalaman yang berbeda dari laki-laki.

Lalu masuk ke bab kedua, pembahasannya berkembang ke arah “lalu bagaimana perempuan harus bersikap?”. Di sinilah penulis membahas tentang bagaimana ia menyetujui gagasan Clarissa Pinkola Estés tentang kesamaan antara perempuan dan serigala betina di bukunya yang berjudul Women who Run with the Wolves. Estés melihat keduanya sama-sama memiliki pengindraan yang tajam, intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, kebranian, kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi, kekuatan, dan daya tahan.

Penulis juga membahas tentang teori kesejahteraan psikologis yang digagas oleh Carol D. Ryff yang menurut saya perlu diketahui oleh lebih banyak orang. Teori ini menjelaskan bahwa tiap orang sebenarnya dapat menjadi sejahtera jika ia mampu:

  1. menerima diri
  2. memiliki tujuan hidup
  3. mengembangkan relasi yang positif denga orang lain
  4. menjadi pribadi yang mandiri
  5. menguasai lingkungan
  6. terus bertumbuh secara personal

Lalu yang paling menarik menurut saya adalah bagian “Kartini yang aku pahami”, dimana penulis menggambarkan bagaimana Kartini adalah sosok yang sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana seorang perempuan bisa mencapai kesejahteraan dengan caranya sendiri.

Terakhir pada bab kedua, penulis membahas juga tentang bagaimana budaya patriarkal lalu melahirkan istilah “perempuan penyihir”, yaitu perempuan-perempuan yang dianggap tidak memenuhi standar “normalitas” masyarakat. Padahal, mereka ini adalah perempuan-perempuan yang berani mendengarkan isi hati dan tidak mau begitu saja mengikuti tuntutan-tuntutan umum akan perempuan yang dipercaya masyarakat.

Buku ini lalu ditutup dengan pembahasan tentang kekerasan pada perempuan di bab terakhir. Tidak mudah membaca kisah-kisah tentang kekerasan tersebut. Namun penulis membuat keputusan yang tepat dengan menempatkannya di bagian akhir. Karena di bab-bab sebelumnya kita seakan diberi kekuatan lebih dahulu dengan dibekali pemahaman tentang asal mula pengalaman perempuan dan bagaimana harus bersikap.

Di bab terkahir ini juga dibahas tentang gerakan-gerakan yang menentang kekerasan pada perempuan seperti Balance Ton Porc yang lebih emosional dan bersifat mengecam pelaku dan Me Too yang lebih bersifat acknowledging dan lebih berfokus pada berbagi pengalaman.

Feminisme jadi topik yang lumayan banyak dibicarakan belakangan ini dan buku ini menyuguhkan satu pandangan menarik tentang topik tersebut, utamanya dari sudut pandang psikologi. Menurut saya, buku ini perlu dibaca lebih banyak perempuan, khususnya agar bisa melakukan dismantle atau pembongkaran terhadap stereotipe-stereotipe tentang perempuan yang sudah kadung berkembang di masyarakat. Lebih tepatnya mungkin buku ini penting dibaca bagi para perempuan yang belum berani mengikuti suara hatinya karena masih terbentur norma-norma sosial di masyarakat.

Namun, jika sudah merasa self-aware dan paham akan bagaimana budaya patriarkal sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan seorang perempuan, mungkin seperti saya, kalian tidak akan mempelajari banyak hal baru kecuali dari segi psikologinya. Bab dua dan tiga bagi saya umumnya mengandung hal-hal yang umumnya sudah saya tahu sebelumnya, hanya saja memang dibahas dengan lebih terstruktur.

Jika ada satu hal yang menurut saya perlu lebih dielaborasi di buku ini adalah tentang bagaimana laki-laki juga menjadi korban stereotipe masyarakat. Hal tersebut memang sempat muncul di buku ini, namun hanya diserempet saja tanpa dibahas lebih lanjut. Padahal, menurut saya, pembahasan topik tersebut bisa menjadi peluang untuk mengembangkan diskursus tentang feminisme yang umumnya hanya identik tentang perempuan vs laki-laki.

Saya yakin hal ini juga yang kemudian menimbulkan persepsi negatif terhadap gerakan feminisme. Kita seakan-akan menganggap bahwa feminisme adalah perang perempuan melawan laki-laki. Padahal, budaya patriarkal misalnya, banyak diperkuat dan dilestarikan oleh sesama perempuan. Jadi, memposisikan feminisme sebagai perempuan vs laki-laki adalah proposisi yang menurut saya kurang tepat. Meskipun buku ini tidak mendukung sudut pandang tersebut, saya sebenarnya sedikit berharap jika penulis akan membahas hal ini lebih lanjut. Apalagi karena penulis juga memahami bahwa feminisme adalah permasalahan yang menyangkut struktur masyarakat luas.

Membahas topik ini, saya jadi teringat akan video ini yang bercerita tentang bagaimana seorang film maker yang tadinya feminis akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menjadi feminis setelah membuat film dokumenter tentang Men’s Rights movement.

Hal-hal tersebutlah yang membuat saya memiliki rasa yang campur aduk tentang feminisme. Sebagai perempuan, saya tahu banyak dari kita yang belum sepenuhnya “sejahtera”. Namun lebih dari itu, saya lebih tertarik akan diskusi tentang bagaimana kita bisa mencapai kesetaraan dengan cara yang lebih elegan dan adil, bukan dengan kemarahan atau bahkan sampai harus merendahkan penderitaan pihak lain.

Jika kita ingin lebih banyak perempuan terjun ke dunia STEM misalnya, kita juga harus memberikan kebebasan bagi laki-laki untuk berkarir di dunia fashion, misalkan. Karena hanya dengan begitulah kita bisa menciptakan gender equality.

Anyway, intinya, buku ini menawarkan pengantar menarik yang membawa kita menuju pemahaman tentang bagaimana stereotip tentang perempuan terbentuk dari sudut pandang psikologi dan bagaimana kita bisa membebaskan diri darinya. Meskipun ada beberapa gagasan mengenai feminisme yang mestinya masih bisa dikembangkan lagi, buku ini tetaplah buku yang well-structured dan sangat menarik untuk dibaca. Strongly recommended!