Kuning & putih telur

2018-07-15_12-22-58

Siang itu aku memulai pekan baru dengan bekerja dari kafe. Awal pekan seperti ini, aku lebih memilih bekerja di luar agar pikiranku tak terjebak di mood akhir pekan jika bekerja dari kosan. Aku belum pernah ke kafe tersebut sebelumnya. Namun tertarik dengan konsep Creative Hub yang mereka usung. Dengan konsep seperti itu kupikir mereka pasti punya fasilitas yang memadahi bagi pekerja remote sepertiku.

Sesampainya di kafe, aku memesan carbonara pasta dan jus buah kombinasi yang mereka sebut The Eye Opener. Sebenarnya aku paling benci harus makan sendiri. Tapi ditemani pekerjaan menumpuk di awal pekan, aku tak punya banyak pilihan untuk mengeluh.

Kafe ini punya beberapa ruangan. Ruang utamanya terlihat sangat luas dengan berbagai macam kursi berwarna senada sehingga terlihat serasi. Di atas meja bar, mereka memasang berbagai macam bendera negara yang berpartisipasi di piala dunia 2018. Mereka juga memasang screen berukuran sekitar 2x3 meter yang mereka pakai untuk mengadakan nonton bareng. Tapi siang ini, hanya aku yang duduk sendiri di ruangan tersebut. Beberapa tamu yang lain memilih duduk di area outdoor.

Jika banyak yang mengatakan bahwa memiliki pekerjaan remote pasti menyenangkan, maka biasanya aku menjawab tidak juga. Seperti kata pepatah, tidak semua yang bersinar itu emas. Begitu juga dengan perkerjaan remote.

Tentu menyenangkan bisa bekerja dari rumah dan memilih waktu kerja sendiri ketika teman-teman yang lain harus pergi ke kantor setiap pagi. Apalagi kita jadi terbebas dari macet seperti yang harus dialami kebanyakan karyawan di ibu kota. Aku juga bersyukur dengan bekerja remote, aku jadi leluasa memilih tempat tinggal sesuka hati. Namun lebih dari semua itu, banyak juga kekurangan dari bekerja remote yang membuatku harus melakukan mindset shifting.

Ketika pertama kali bekerja remote dari sebelumnya bekerja kantoran, aku masih berpola pikir seperti pekerja kantoran biasa. Aku enggan bekerja dari kafe karena kupikir hal tersebut hanya membuang-buang uang. Dan dengan naifnya aku berpikir bahwa bekerja remote berarti aku bisa bebas bekerja dari kamar kos (bahkan hanya dari tempat tidur) setiap hari tanpa harus repot-report berpakaian rapi.

Nyatanya, bekerja remote ternyata perlu disiplin yang tinggi. Tempat tinggal idealnya adalah tempat untuk beristirahat. Sedangkan ketika bekerja, kita dituntut untuk menciptakan lingkungan yang kondusif yang bisa menunjang proses berpikir dan menyelesaikan berbagai tugas. Ketika keduanya dicampur-adukkan, maka akan terjadi ketimpangan pada salah satu aspek. Pilihannya antara kita jadi tidak produktif karena terbawa suasana rumah untuk santai (akhirnya jadi underworked), atau kita justru jadi bekerja lebih lama (overworked) yang ujung-ujungnya membuat kita burn out.

Di fase awal aku bekerja remote, jam tidurku kacau balau. Karena sebagian besar timku bekerja dari waktu Eropa, aku pun jadi mengikuti jam kerja mereka. Aku bekerja sampai larut malam bahkan kadang sampai pagi. Sedangkan pagi sampai siangnya kupakai untuk beristirahat. Bahkan teman-teman kosku pun jarang kujumpai lagi karena aku seperti hidup di zona waktu yang berbeda. Dalam sehari, aku bahkan bisa bekerja 12-13 jam.

Beruntung, aku punya manager yang sangat pengertian. Ia menasehatiku untuk tidak terlalu memaksakan diri mengikuti waktu kerja tim yang lain. Ia bahkan selalu mengingatkanku untuk tidak bekerja berlebihan dan meluangkan waktu untuk kehidupan pribadi.

Setelah mendapat nasihat tersebut, aku akhirnya menetapkan* office hour* yang memungkinkanku untuk tetap hidup di zona waktu tempat tinggalku, namun juga tak ketinggalan rapat tim yang kebanyakan dilakukan malam hari. Aku menetapkan jadwal yang ketat, kapan aku harus bekerja dan kapan tidak. Meskipun tidak ada yang mengawasi karena aku bekerja remote, aku bahkan merasa bersalah melakukan aktifitas lain di luar pekerjaan ketika office hour. Sebaliknya, ketika akhir pekan pun aku sama sekali tidak mau diganggu untuk alasan pekerjaan.

Tapi ternyata terlalu disiplin seperti itu tidak juga membuatku produktif. Aku merasa bersalah mengabaikan pesan masuk tentang pekerjaan ketika weekend. Bahkan ketika aku merasa penat saat office hour pun, aku memaksakan untuk tetap bekerja.

Saat pertama kali tinggal di Bali, aku memutuskan untuk bekerja dari sebuah coworking space. Jika ada satu hal yang kupelajari dari tinggal di Bali, maka hal tersebut adalah pelajaran untuk membuatku menjadi manusia yang lebih sabar dan santai. Pekerja remote lain di coworking space tak pikir pusing untuk meninggalkan laptop mereka untuk bermain selancar atau untuk sekedar menikmati pantai. Aku pun jadi sadar sudah menyia-nyiakan keleuasaan waktu yang kupunya dari pekerjaanku selama ini.

Sekarang aku tak lagi merasa bersalah untuk memilih menikmati sunset di pantai ketika aku berhasil mengerjakan pekerjaanku kurang dari 8 jam dalam sehari. Aku pun tak lagi terlalu ketat membagi waktu bekerja. Pagi hari ketika menerima pesan dari kolega yang berada di waktu PST, dengan lega hati aku meresponnya dari balik selimut di tempat tidurku. Hanya satu aturanku sekarang, aku tak lagi menerima tawaran meeting di atas jam 12 malam lebih dari sekali selama seminggu. I have to have a limit at some point.

Pada akhirnya, lebih mudah untuk menerima bahwa pekerjaan adalah bagian dari hidup pribadi kita sebagaimana keluarga dan teman-teman. Memisahkan keduanya ibarat kata seperti memisahkan kuning dan putih telur. Memang tidak mustahil. Namun pada dasarnya keduanya adalah bagian dari satu cangkang telur yang sama. Toh, si kuning telur punya bentuk sendiri yang tidak akan mudah tercampur dengan yang lain kecuali kita yang mengaduknya jadi satu. (: