Tarawih bonus onta

Suatu hari ketika baru sampai musholla untuk menunaikan sholat tarawih adik saya berkata, “mbak, kita dapet sapi!”. Saya pun memasang raut muka bingung kemudian dia menjelaskan.

“Kata ibu, kalo kita sholat di shaf pertama kita bakal dapet onta. Kalo shaf kedua dapet sapi, shaf ketiga dapet kambing.” begitu katanya.

Tentu saya pun tau ibu hanya bercanda. Kalaupun benar ada dalilnya, saya pun tak begitu peduli. Toh saya bukannya mau membuat peternakan di akhirat nanti. Tapi sampai sekarang setiap kita pulang tarawih topik itu selalu jadi candaan kita yang seakan tak ada bosannya.

Lalu di suatu malam berbeda setibanya di musholla saya menemukan sebuah selebaran. Tentang kelebihan sholat tarawih dan perhitungan pahalanya dari malam pertama sampai yang ketiga puluh. Selebarannya sederhana . Tapi pulang tarawih saya jadi berpikir tentang banyak hal.

Tuhan, selama ini saya ibadah semata-mata karena pamrih nggak ya?

Pamrih karena kelak dapat unta lalu berebut shaf pertama. Pamrih karena ingin mendapatkan balasan seperti di selebaran tadi, lalu pergi sholat tarawih. Saya takut jadi hamba yang pahalaistis (mengutip kata materialistis). Melakukan suatu amalan karena mendambakan balasan pahala dari Tuhan.

Kiki nggak gitu kan Tuhan? Aku takut. Rapatkan shaf kan memang anjuran. Pun pergi tarawih kan memang karena disunnahkan. Lagipula harusnya pahala bukan sesuatu yang lalu bisa kita kalkulasi, bukan?

Lalu bagaimana dengan ustadz yang memberi tahu kalkulasi pahala di selebaran tadi?

Ustadz kan hanya memberi tahu. Toh mungkin bukan maksud mereka mengiming-imingi kita dengan selebaran pahala tadi (kamu saja yang terlalu sensitif, Ki). Dia mungkin hanya ingin mengajak lebih banyak orang ke jalan kebaikan. Biar musholla lebih ramai. Dia juga bukan yang tau persis perhitungan malaikan Raqib, bukan?

Lalu maksudnya kamu nggak mau pahala Ki? munafik!

Bukan seperti itu juga sih. Cuma rasanya kurang pas saja. Bukannya akan lebih indah jika kita beribadah karena rasa cinta & syukur? Beribadah bukan karena kewajiban, tapi karena kecintaan kita ke Tuhan. Memberi bukan karena menginginkan kembali, tapi karena rasa syukur Tuhan sudah memberikan yang lebih.

Lagipula siapa sih yang menghitung-hitung pahala? Kamu saja yang over analyzed, Ki. Orang-orang juga mungkin bukan karena janji akan pahala berlipat ganda baru pergi ibadah. Kamu saja yang su’udzon.

Okay, baiklah. Maaf sudah su’udzon.

Lalu sepulang tarawih melihat jama’ah yang sholat di teras musholla saya jadi penasaran.

“Terus yang paling belakang dapet apa Yung?”

“Dapet kandang ayam mbak. Kosong, cuma ada e’eknya. Hahaha” My sister was so funny. She’s a lot like my mom. (: