Indonesia dan minat baca
Kebetulan beberapa hari yang lalu saya dikirimi tautan oleh seorang teman. Ide dari tulisan tersebut sebenarnya menarik, mendorong industri literasi untuk berinovasi agar minat baca masyarakat jadi meningkat. Tapi menurut saya, penulis melakukan perbandingan yang kurang tepat. Konten buku dengan status Facebook atau Twitter tentu bukan hal yang sepadan untuk dibandingkan.
Dan dari pada mempermasalahkan ukuran, sebenarnya mungkin lebih relevan untuk membahas medium. Sekarang ini meskipun penggunaan smartphone sudah semakin marak, namun toh minat baca masyarakat kita segitu-gitu aja. Padahal, smartphone kan bisa digunakan untuk membaca buku juga. Bahkan sepengalaman saya buku digital biasanya lebih murah daripada buku fisik.
Nada tulisan yang seakan-akan menyalahkan para pelaku literasi di Indonesia yang kurang kreatif untuk berinovasi, membuat saya sebenarnya merasa sedih. Tulisan tersebut membuat saya mengalami dejavu seperti saat membaca artikel ini. Meskipun saya sepaham dengan keluhan utama dari tulisan tersebut, saya tetap sedih ketika masyarakat kita dicap malas berpikir dan tidak pernah memakai otaknya.
Keadaan masyarakat di Indonesia tentu tidak bisa dibandingkan dengan masyarakat Jepang, Jerman, atau negara yang lebih maju lainnya. Jelas perbandingannya akan timpang. Lha wong kita makan singkong, sedangkan mereka makan keju.
But, anyway. Ini seriusan. Level peace of mind dari masyarakat kita tentu berbeda jauh dari peace of mind penduduk negara yang lebih maju dengan segala privilege yang mereka punya. Kalau sobat misqueen di US masih mending karena di sana ada food stamp program, saya ngalamin sendiri temen SD saya dulu curhat karena mereka ngga punya beras di rumah.
Selain itu, masih banyak dari kita yang berpikir di level praktikal, bukannya strategis. Dan itu pun bukan salah masyarakatnya, melainkan karena kebiasaan yang memang sudah tertanam dari kecil. Sebagai contoh sederhana, masih banyak masyarakat kita yang lebih suka membeli produk dalam kemasan sachet padahal jika dihitung-hitung jatuhnya jauh lebih murah jika kita membeli kemasan yang lebih besar.
Maka dari itu, kita yang beruntung bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik seharusnya nggak menyalahkan masyarakat yang berbeda pola pikir begitu aja. Kita seharusnya lebih sabar untuk menjelaskan kenapa mereka perlu mengubah pola pikirnya.
Anyway, kembali ke topik meningkatkan minat baca tadi. Menurut saya, selain perbedaan di pola pikir, kita juga masih kurang gencar dalam 2 faktor berikut:
Enforcement
Sebenarnya ini faktor yang sangat mendasar. Kebiasaan kan sering kali berasal dari paksaan. Kalau sistem pendidikan kita lebih banyak memaksa untuk membaca buku (nggak cuma buku pelajaran atau LKS), tentu akan lebih banyak orang yang mulai terbiasa untuk membaca. Jaman saya sekolah dulu rasanya jarang sekali ada tugas yang mewajibkan saya untuk membaca buku selain buku pelajaran. Nggak heran jika anak-anak juga akhirnya merasa asing dengan buku.Facility
Kalau di luar negeri bangunan perpustakaannya canggih dan megah, saya mengalami sendiri betapa susahnya mendapat akses ke buku bacaan ketika kita hanya dibesarkan di kampung yang sederhana. Fasilitas ini sangat penting untuk mengimbangi daya beli masyarakat kita yang mungkin masih kurang untuk membeli buku. Jika akses ke buku saja susah, bagaimana kita bisa meningkatkan minat membaca?
Tentu saya paham 2 faktor yang sangat dasar tadi pun masih kurang dan mungkin perlu ditambahkan dengan strategi yang lain. Dengan cara membuat perpustakaan yang instagrammable, misalnya. Setidaknya, meskipun masyarakat akhirnya banyak yang berkunjung hanya karena ingin berfoto, level prestige dari perpustakaan itu sendiri jadi meningkat dan lebih banyak orang akan terekspos dengan kesempatan untuk membaca buku.
Lihat saja bagaimana industri museum sekarang ini mulai kembali ramai karena menawarkan hal baru yang memang sedang diminati banyak orang. Jika perpustakaan juga menerapkan hal yang sama, saya optimis pada akhirnya kita bisa menarik lebih banyak orang untuk membaca.
Adanya startup seperti storial, atau bookabuku juga membuat saya semakin optimis kita bisa lebih baik dari sekarang. Dengan memudahkan penulis memasarkan karyanya, dan mempermudah pembaca mendapatkan buku yang ingin ia baca dengan biaya yang lebih terjangkau, saya rasa kita hanya perlu lebih gencar untuk mendorong teman-teman yang lain untuk membaca.
Bahkan harus saya akui, membaca memang terkadang terasa membosankan. Tapi mungkin itu terjadi karena kita membaca genre yang kurang sesuai. Itulah kenapa, tahun ini saya tidak ingin memaksakan diri untuk menamatkan semua buku hanya karena saya merasa bersalah jika tidak menyelesaikannya. Karena “time is too limited to finish a book that you don’t genuinely enjoy.” 😉
Photo by Josh Applegate on Unsplash