Memperluas horison
Akhir-akhir ini saya sedang sering memikirkan tentang bagaimana manusia berpikir. Menurut saya, sistem kerja otak sangatlah menarik untuk dipahami. Bagaimana kita memutuskan sesuatu dan faktor apa saja yang mempengaruhinya?
Salah satu hal menarik yang saya temukan melalui video ini adalah bagaimana bahasa bisa sangat mempengaruhi cara kita berpikir. Bukan hanya karena kosa kata dan struktur tiap bahasa yang berbeda tapi karena tiap bahasa menyediakan detil yang berbeda untuk mengantarkan hasil pemikiran yang kompleks menjadi hal yang lebih mudah untuk dipahami. Ada bahasa yang punya grammatical gender, ada bahasa yang tidak kenal istilah kanan kiri dan hanya mengandalkan arah mata angin, dan bahkan ada bahasa yang tidak punya kosa kata numerik. Akibatnya, saat berbicara kita cenderung memperhatikan hal yang berbeda tergantung bahasa yang kita kuasai.
Begini contoh kasus yang umum di Indonesia. Dibesarkan dalam budaya Jawa yang bahasanya punya honorific level, saya jadi berpikir bahwa saya sering kali harus menebak umur seseorang ketika bertemu orang baru. Apakah orang tersebut lebih berumur sehingga saya perlu memanggilnya mbak/mas? Paling mudah dan paling sering saya gunakan adalah dengan bermain aman dan menyapa dengan sapaan yang lebih tua daripada salah tebak. Tapi implikasinya, ketika yang disapa ternyata lebih muda dan orangnya sensitif, maka saya harus siap-siap menerima protes.
Yang sering terjadi pada saya justru sebaliknya. Karena perawakan saya yang kecil, tak jarang orang menganggap saya lebih muda dan memanggil dengan sapaan “dek”. Dan meskipun senang dianggap lebih muda, kadang di lingkungan profesional hal ini membuat saya merasa harus membuktikan dengan lebih. Maka dari itu, sebenarnya saya lebih suka dipanggil nama saja tanpa embel-embel kata sapaan.
Itu juga alasan kenapa kebanyakan orang Jawa sering kali memanggil orang asing dengan sebutan mister atau miss. Karena kita terbiasa berpikir tentang honorific level ketika berbicara. Padahal orang asing umumnya sebal sekali dipanggil seperti itu. Hihihi.
Kebetulan karena akhir-akhir ini sedang belajar bahasa Jerman, saya juga sering mengalami kesulitan ketika harus menentukan artikel dari suatu benda. Bentuk nominative-nya saja sudah membingungkan, apalagi harus menentukan bentuk dative dan genitive. Karena tidak terbiasa berbicara dalam bahasa yang memiliki grammatical gender, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi saya selama ini.
Namun itulah menyenangkannya belajar bahasa baru. Belajar bahasa itu ibarat memperluas horison. Jika kita hanya bisa berbicara dalam satu bahasa, maka pola pikir kita jadi terbatas. Kita juga akan lebih sulit berempati pada hal-hal di luar pengalaman yang pernah kita alami karena well, kita terbiasa berpikir dengan pola yang itu-itu saja.
Itu baru dari segi bahasa. Sebenarnya ada beberapa sumber menarik lain tentang cara berpikir manusia yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, sepertinya saya hanya akan meninggalkan tautannya di sini agar kalian bisa menyimaknya juga:
Photo by Matt Cannon on Unsplash