[Review] Maybe you should talk to someone

Awalnya saya agak skeptis untuk membaca buku ini karena saya pikir isinya akan suram. Tapi setelah merampungkan beberapa bab, saya malah yakin kalau saya harus membuat ulasan tentang buku ini di blog. It’s one of those books that surprises you in a good way.

Ketika saya bilang suram, yang saya maksud adalah saya pikir buku ini bakal membuat saya merasa depresif ketika membacanya. Namun justru sebaliknya, saya malah banyak tertawa membaca buku ini (meskipun sempat dibuat menangis juga). Penulisnya, Lori Gottlieb, yang ternyata punya bakcground di bidang kepenulisan, pandai sekali mengemas cerita yang meskipun traumatis menjadi sesuatu yang mudah dicerna dan bahkan fun untuk dibaca.

Di buku ini, Lori yang merupakan seorang terapis, mengisahkan tentang beberapa kasus pasiennya. Namun tak hanya itu, ia juga menceritakan personal turmoil-nya yang mana membuat ia memutuskan untuk mencari terapis untuk dirinya sendiri kala itu.

Part one

But sometimes—more often than we tend to realize—those difficult people are us.

Bagian pertama dari buku ini menceritakan tentang proses awal dalam sebuah terapi, yaitu bagaimana seorang pasien menggambarkan masalahnya. Di sini Lori menjelaskan bahwa ketika menceritakan suatu masalah, kita biasanya cenderung fokus pada narasi yang kita alami sendiri, tanpa mengindahkan bahwa ada juga narasi dari pihak lain yang terlibat dalam masalah tersebut.

Dalam hal ini, terapis biasanya mencoba memperhatikan apa saja bias atau opini pribadi (yang biasa disebut countertransference) seseorang dalam menceritakan masalahnya. Hal itu dilakukan agar terapis bisa mengambil satu langkah mundur dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meuntuk memandu jalannya pengobatan.

Saya suka sekali istilah idiot dan wise compassion yang menggambarkan bagaimana kita bisa merespons permasalahan yang dihadapi orang lain.

In idiot compassion, you avoid rocking the boat to spare people’s feelings, even though the boat needs rocking and your compassion ends up being more harmful than your honesty. […] Its opposite is wise compassion, which means caring about the person but also giving him or her a loving truth bomb when needed.

Pada intinya, bab ini menggambarkan bagaimana terapi bisa membantu mengubah cara kita melihat masalah yang sedang dihadapi. Cerita “Welcome to Holland” oleh Emily Perl Kingsley yang diceritakan kembali di buku ini mengilustrasikan pesan ini dengan sempurna. Cerita tersebut menggambarkan bagaimana kita bisa mengubah respon kita terhadap sesuatu yang terjadi di luar rencana. Karena kehidupan, pada dasarnya akan selalu seperti itu.

It’s Wendell’s job to help me edit my story. All therapists do this: What material is extraneous? Are the supporting characters important or a distraction? Is the story advancing or is the protagonist going in circles? Do the plot points reveal a theme?

Materi yang disampaikan Lori pada video TED berikut ini memberikan rangkuman yang jelas, khususnya tentang bab pertama dan kedua dari buku ini.

Part two

Happiness equals reality minus expectations.

Di bagian kedua buku ini, kita mulai diajak untuk melihat bagaimana terapi bisa membantu pasien untuk mengidentifikasi ketakutan yang mereka rasakan dan pada akhirnya, memandu pasien mencari jalan alternatif dari permasalahannya.

Hal ini digambarkan secara sempurna oleh kisah yang diceritakan Wendell (terapis Lori).

I’m reminded,” he begins, “of a famous cartoon. It’s of a prisoner, shaking the bars, desperately trying to get out—but to his right and left, it’s open, no bars.” […] “All the prisoner has to do is walk around. But still, he frantically shakes the bars. That’s most of us. We feel completely stuck, trapped in our emotional cells, but there’s a way out—as long as we’re willing to see it.”

Cerita tersebut menggambarkan bahwa seringkali, kita sendirilah yang membuat narasi tidak berguna yang seolah-olah menjadikan kita merasa terjebak dalam sebuah situasi dan tak bisa berbuat apa-apa. Padahal, jika kita mau merelakan narasi tersebut, ternyata ada banyak pilihan yang bisa kita tempuh.

[…] freedom involves responsibility, and there’s a part of most of us that finds responsibility frightening.

Dalam konteks terapi, pada umumnya seorang terapis akan membantu kita untuk mengidentifikasi resistance yang kita rasakan untuk menemukan apa yang sebenarnya menahan kita keluar dari situasi tersebut. Biasanya, terapis akan menanyakan tentang sudah berapa lama pasien mengalami hal tersebut (“history of present condition”) dan apakah ada hal di masa lalu yang menyebabkan perasaan tersebut (a “precipitating event”).

Part three

Di bagian ini, kita diajak untuk menyadari bahwa terapi mungkin akan membantu kita menemukan jalan keluar. Namun pada akhirnya, kita sendiri yang perlu melangkahkan kaki.

One of the things that surprised me as a therapist was how often people wanted to be told what to do, as if I had the right answer […] as a therapist, I can come to understand people and help them sort out what they want to do, but I can’t make their life choices for them.

Lori menceritakan bagaimana terapi, ibaratnya hanya akan membantu kita menyediakan cermin, bukan untuk menjadikan kita terlihat lebih cantik, namun untuk menunjukan kekurangan-kekurangan yang kita miliki.

Di bab ini juga dibahas tentang bagaimana dewasa ini banyak orang memilih untuk menggunakan obat untuk menyelesaikan masalahnya, karena tidak sabar untuk menjalani psikoterapi yang memang prosesnya lebih panjang.

But did 26 percent of the general population in this country really need to be on psychiatric medications? After all, it wasn’t that psychotherapy didn’t work. It was that it didn’t work fast enough for today’s patients, who were now, tellingly, called “consumers.”

Intinya, Lori mengajak kita untuk menjadi berani dalam menghadapi emosi kita sendiri alih-alih mengambil jalan pintas dengan obat. Kita juga diajak untuk menjadi baik-baik saja dengan ketidaktahuan. Karena justru ketidaktahuan tersebutlah yang membuat kita jadi memiliki kebebasan untuk memilih.

I don’t know what will happen next—how potentially exciting! I’m going to have to figure out how to make the most of the life I have, illness or not, partner or not, the march of time notwithstanding.

Part four

There’s no hierarchy of pain. Suffering shouldn’t be ranked, because pain is not a contest.

Bab terakhir ini pada dasarnya adalah bab penutup. Selain menceritakan tentang akhir kisah dari masalah pasien-pasiennya, Lori juga menekankan bahwa terapi adalah proses yang panjang.

Do I want advice (counseling) or self-understanding (therapy)?

Proses ini akan memaksa kita untuk membuka luka-luka lama dan memahami emosi yang kita rasakan untuk bisa menemukan jalan keluar. Menjalani terapi, ibaratnya seperti mempekerjakan tour guide untuk menemani kita selama proses tersebut.

For many people, going into the depths of their thoughts and feelings is like going into a dark alley—they don’t want to go there alone. People come to therapy to have somebody to go there with

Dan pada akhirnya, rasa sakit adalah hal yang tidak bisa dihindari. Jika ingin merasakan kesenangan, maka kesakitan jadi paket yang tidak bisa terpisahkan.

You will inevitably hurt your partner, your parents, your children, your closest friend—and they will hurt you—because if you sign up for intimacy, getting hurt is part of the deal.


Di zaman ketika mental health jadi lebih sering digaungkan, saya pun jadi penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah terapi. Bagi saya pribadi, buku ini membuka pikiran tentang hal tersebut.

Tulisan ini mungkin lebih cocok disebut sebagai ringkasan daripada ulasan. Tapi memang itu intinya. Saya ingin merekam apa saja yang saya pelajari dari buku tersebut sehingga bisa saya revisit di kemudian hari dan juga bisa dipelajari orang lain yang mungkin belum membaca bukunya.

Semoga bermanfaat!