Keyakinan yang membuatmu bahagia
Minggu lalu saya menemukan salah satu teman kos saya sedang mengerjakan tugas sambil menangis. Yang mana setelah saya tanya penyebabnya dia berkata bahwa dia sangat lelah mengerjakan tugasnya tapi tugas tersebut tak kunjung selesai juga. But such a jerk, setelah membantunya saya malah membandingkan dengan diri saya yang (seingat saya) tak pernah sekalipun menangis karena tugas sekolah atau kuliah. Lalu menyuruhnya untuk jangan menghabiskan air matanya untuk hal seperti itu lagi.
Tapi kejadian itu rupanya membekas di otak saya untuk beberapa hari. Saya jadi malah bingung mengapa sesuatu yang orang lain anggap “big deal“ malah kadang saya anggap remeh. Namun sebaliknya, ketika orang lain menganggap remeh sesuatu, saya malah menganggapnya berarti. Is it a matter of measurement?
Apakah itu hanya perbedaan standar saja? Standar dimana orang lain menganggap skala dari 0-10 itu termasuk remeh, namun ada juga orang lain yang menganggap skala 0-25 lah yang remeh baginya. Namun saya tak puas dengan jawaban itu. Karena jika begitu, itu berarti skala saya teracak-acak dong?
Lalu saya teringat pada cerita teman lain yang mengatakan salah satu ketakutan terbesarnya adalah jika ia tidak bisa lebih sukses dari orang tuanya. Dia berfikir jika orang tuanya yang notabene lulusan setingkat SMA saja bisa memberikan pendidikan yang layak bagi dia, namun bagaimana jika akhirnya ia tidak bisa lebih sukses dari orang tuanya kelak? Hal itu pun sempat menyentak pikiran saya. Saya yang notabene memiliki keadaan yang mirip, kenapa tak pernah terpikir tentang hal itu sekalipun?
Akhirnya saya tiba pada satu kesimpulan. Belief. Keyakinan.
You’re the master of your fate, the captain of your soul.
Semua orang dengan atau tanpa kesadaran, sebenarnya memilih apa yang ia yakini/percayai. Dan hal yang kita yakini itulah, yang akan mempengaruhi keputusan/kesan kita terhadap suatu hal. Dan keyakinan itu pulalah yang memperngaruhi penilaian benar/salah terhadap suatu hal.
Lalu memang kenapa? Bukankah kita bebas memilih apa yang kita yakini?
Tentu, boleh saja kita mempercayai apa saja yang ingin kita percaya. Kita boleh saja punya kepercayaan bahwa hidup untuk makan atau makan untuk hidup. Sah-sah saja memiliki suatu keyakinan/kepercayaan. Namun yang banyak orang tidak sadar adalah, tidak semua keyakinan itu baik untuk dirinya. Terkadang ada beberapa keyakinan yang malah menyakiti diri kita.
Dunia psikologi menyebutnya confirmation bias. Confirmation bias adalah kecenderungan manusia untuk menyadari fenomena yang mendukung hal-hal yang dia percayai sebelumnya. Contohnya, jika seseorang percaya kalau Jakarta adalah kota yang kejam, maka ia akan lebih cenderung menyadari hal-hal buruk yang dia alami di Jakarta dan mengabaikan hal-hal lainnya yang baik. Dan dia bukannya secara sadar memiliki pemikiran itu. Preferensi untuk menyadari hal-hal buruk itu adalah hasil dari kepercayaannya bahwa Jakarta adalah kota yang kejam.
Seseorang yang percaya jika penampilannya buruk, hanya akan menyadari orang-orang yang memandang negatif terhadap penampilannya, tanpa menyadari orang-orang yang memiliki kesan positif terhadap penampilannya. Seseorang yang percaya jika dirinya bodoh, hanya akan menyadari saat-saat dia membuat kesalahan dan mengabaikan saat-saat dia berhasil. Saya jadi teringat kata-kata Mark Manson dalam salah satu bukunya.
“It doesn’t matter whether a belief is true or not; what matters is whether it’s helpful.”
Yang terpenting adalah, percayalah pada hal-hal yang membawa pengaruh positif dalam hidup kita. Jika kepercayaan kalau diri kita ini jelek dan bodoh malah menyakiti diri kita sendiri, maka hindarilah kepercayaan itu. Kepercayaan seperti itu tidak membantu kita menjadi pribadi yang lebih baik.