Kampung halaman
Siang itu aku memilih mengungsi ke rumah mbah uti (nenek) karena di rumah sedang terjadi pemadaman listrik. Apalagi, di rumah juga sepi hanya ada aku dan seorang ponakan.
Setelah bercengkrama sejenak dan numpang makan, aku pun memilih rebahan di salah satu kamar sambil membaca buku bacaanku. Namun ternyata, perjalanan kemarin masih membuatku lelah sehingga tanpa sadar aku pun terlelap. Kebetulan aku baru kembali ke kampung halaman dari Bali kemarin malam.
Sudah lama aku tak merasakan nikmatnya tidur siang seperti ini. Namun setelah beberapa saat aku terbangun begitu ayam dari kandang yang terletak di sebelah rumah mbah uti berkokok. Tak terbiasa dengan suara kokok ayam, aku pun terbangun dan agak terpaku dengan suara kokoknya yang begitu nyata. Sepuluh tahun merantau, aku sepertinya jadi terbiasa dengan kehidupan masyarakat kota sehingga kokok ayam saja terasa menakjubkan bagiku.
Aku jadi kembali teringat obrolanku dengan pengemudi taksi online yang mengantarku ke bandara Ngurah Rai Bali tempo hari. Layaknya obrolan biasa, kami berbincang tentang asal masing-masing. Si bapak ternyata berasal dari Palembang namun sudah menetap lama di Bali. Tibalah giliran beliau balik bertanya yang kemudian kujawab dengan “Saya mah orang kampung, pak. Dari Tegal.”
Awalnya aku bermaksud untuk merendah. Tapi menilik kembali kalimat yang kuucapkan, aku justru menyesal menambahkan kata “mah” di kalimat tersebut. Seolah-olah menjadi orang kampung tidaklah lebih baik dari pada orang kota. Padahal apa salahnya jadi orang kampung?
Kembali ke kokok ayam tadi. Aku pun terheran-heran kenapa aku yang notabene mengaku orang kampung, justru kampungan hanya karena mendengar suara kokok ayam yang asli. Di perjalanan pulang ke rumah dari rumah mbah, aku jadi tersadar. Sudah lama sekali aku tidak merasakan suasana kampung yang sesungguhnya seperti ini. Tidur siang ditemani sepoi angin bukannya udara dari AC. Dibangunkan oleh kokok ayam, bukannya jam beker atau alarm handphone.
Kehidupan di kampung padahal mengajarkan banyak kesederhanaan dan penghormatan pada alam. Kunjungan singkat ini membuatku malu betapa aku pikir aku membutuhkan banyak hal padahal kehidupan di kampung menjadi bukti bahwa alam sudah menyediakan semua itu untuk kita. Hari itu aku belajar bahwa hidup bukanlah tentang mengumpulkan barang-barang berharga untuk menambah berbagai manfaat di hidup kita. Sepanjang hidup ini, kita justru harus terus menerus memfollow up diri sendiri untuk mencari makna yang berharga di kehidupan kita.