[Review] How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy
Among my students and in many of the people I know, I see so much energy, so much intensity, and so much anxiety. I see people caught up not just in notifications but in a mythology of productivity and progress, unable not only to rest but simply to see where they are.
Sebagai seorang “workaholic”, judul buku ini menggelitik keingintahuan saya. Tadinya saya pikir buku ini akan menyuguhkan beberapa alasan mengapa kita tidak perlu ngoyo dalam bekerja dan bagaimana menyeimbangkan kehidupan pribadi dan profesional (work life balance, istilah kerennya). Tidak disangka, buku ini jauh lebih dalam dari judulnya. Menurut saya, sub-judulnya -Resisting the Attention Economy- lebih cocok untuk menggambarkan isi buku ini. Meskipun begitu, saya akan setuju dengan pemilihan judul yang lebih ringan dengan harapan buku ini akan terdengar lebih menarik bagi lebih banyak orang.
The happiest, most fulfilled moments of my life have been when I was completely aware of being alive, with all the hope, pain, and sorrow that that entails for any mortal being.
Sebagai seorang seniman yang berasal dari keluarga yang erat dengan bidang teknologi, sang penulis, Jenny Odell, berhasil menyuguhkan materi yang rebellious dengan penyampaian yang sangat apik. Saya suka sekali bagaimana Odell menggunakan pendekatan seni dan filsafat untuk menggambarkan pemikirannya. Meskipun dari segi bahasa sebenarnya terasa agak berat bagi saya, namun untungnya, analogi yang disuguhkan masih bisa dimengerti dengan mudah.
How to Do Nothing intinya bercerita tentang pengaruh dari attention economy dan bagaimana kita bisa menyikapinya. Struktur pembahasannya sangat memudahkan kita untuk menyadari keterpautan antara attention economy dalam kehidupan sehari-hari dan bagaimana instant refusal mungkin bukan jalan terbaik untuk menyikapinya. Kita pun digiring untuk membuat strategi sendiri untuk menentukan apa yang akan kita lakukan dengan “perhatian” yang akhirnya berhasil kita peroleh kembali.
Saya merasa mendapat waktu yang sangat cocok saat membaca buku ini. Dengan PHK yang baru saja terjadi 2 minggu lalu di kantor saya, buku ini memberikan saya pandangan baru akan kapitalisme. Saya pun jadi berandai-andai, bagaimana jadinya, jika tidak pernah ada sistem kapitalis di bumi ini. Apakah manusia akan hidup dengan lebih selaras dengan alam? Apakah bumi ini jadi bisa ditinggali lebih lama lagi? Apakah pemanasan global akan tetap terjadi? Bagaimana sesungguhnya kita bisa hidup selaras dengan alam? Apa maksudnya?
Apalagi ditambah saya yang memang sedang berusaha mengurangi porsi waktu untuk bermain media sosial akhir-akhir ini. Penggunaan kata mengurangi di sini bahkan terkesan sederhana, karena faktanya, sejak tidak punya aplikasi media sosial lagi di ponsel, saya jadi merasa terbiasa dan cenderung menyukai ritme kehidupan saya yang sekarang tanpa akses cepat ke media sosial seperti biasanya.
Buku ini faktanya memang cocok untuk kalian yang memang skeptis akan attention economy dan sedang bergulat dengan pemikiran akan bagaimana seharusnya kita menyikapinya. Saya akan coba menjelaskan dengan membahas bagian per bagian dari buku ini:
The Case for Nothing
In a situation where every waking moment has become the time in which we make our living, and when we submit even our leisure for numerical evaluation via likes on Facebook and Instagram, constantly checking on its performance like one checks a stock, monitoring the ongoing development of our personal brand, time becomes an economic resource that we can no longer justify spending on “nothing.” It provides no return on investment; it is simply too expensive.
Di bagian pertama ini, Odell menjabarkan pentingnya tidak melakukan apapun untuk menstimulasi kita agar bisa mulai membuka diri dan peka akan hal-hal lain di luar hal-hal yang biasa kita perhatikan.
Silence is not the absence of something but the presence of everything.
Ketika kita dihadapkan dengan berbagai tekanan kehidupan (belajar, bekerja, mengurus keluarga, dll), media sosial memberikan kita instant gratification dengan tombol likes, heart, retweet, dan kemudahan untuk berkomunikasi yang bisa dilakukan dengan sangat cepat. Kita jadi bisa menghemat waktu yang kita bisa gunakan lagi untuk memperhatikan tanggung jawab kita yang lain. Hal tersebut semakin memperkuat gagasan bahwa mengkosongkan pikiran kita adalah kegiatan yang sangat mahal harganya. Padahal mengkosongkan pikiran di sini berperan penting untuk menetralkan gagasan dan mempertajam kepekaan kita akan keadaan sekitar.
The Impossibility of Retreat
… but their expression on social media so often feels like firecrackers setting off other firecrackers in a very small room that soon gets filled with smoke. Our aimless and desperate expressions on these platforms don’t do much for us, but they are hugely lucrative for advertisers and social media companies, since what drives the machine is not the content of information but the rate of engagement.
Sangat mudah berargumentasi bahwa media sosial memang memiliki banyak manfaat meskipun memang punya akibat yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Lalu tentu saja kita bisa berkesimpulan bahwa solusi dari itu semua adalah dengan menyeimbangkan kebaikan dan keburukannya.
More generally, Epicurus observed that people in modern society ran in circles, unaware of the source of their unhappiness
Tapi ketika kita menarik kembali ke akar eksistensi dari sistem itu sendiri, tidak bisa dipungkiri bahwa mata uang untuk berpartisipasi dalam sistem tersebut tidak lain adalah perhatian kita.
Do you pack all your things in a van, say, “Fuck it,” and never look back? What responsibility do you have to the world you left behind, if any?
Di bab ini Odell mulai menggiring kita untuk membayangkan jika ada banyak akibat buruk yang diakibatkan oleh attention economy, apakah menghindar adalah solusi?
Odell kemudian berargumentasi bahwa menarik diri tanpa mempertanyakan akar permasalahannya bukanlah pilihan yang paling bijaksana. Kita seharusnya justru harus berangkat dari pemahaman akan pengalaman kita masing-masing.
To stand apart is to take the view of the outsider without leaving, always oriented toward what it is you would have left. It means not fleeing your enemy, but knowing your enemy
Pada akhir bab ini Odell mulai memperkenalkan konsepnya untuk “stand apart” yang intinya adalah melakukan observasi akan interaksi yang kita lakukan selama ini. Dia mengumpamakannya sebagai memahami musuh yang kita hadapi.
Anatomy of a Refusal
If you can afford to pay a different kind of attention, you should.
Bisa dibilang ini adalah bab yang paling saya sukai karena di bab ini penulis berusaha untuk realistis. Odell sadar, bahwa tidak semua orang mampu untuk menolak dan keluar dari sistem attention economy.
It may be that refusal is only available as a tactic to people who already possess a great deal of social capital, people whose social standing will endure without Facebook and people whose livelihoods don’t require them to be constantly plugged in and reachable…These are people who have what [Kathleen] Noonan (2011) calls “the power to switch off.”
Ia pun paham bahwa jalan untuk melawan attention economy tidaklah mudah. Orang yang memilih pendekatan berbeda juga akan mendapat implikasi yang tidak awan dari masyawakat kebanyakan. Ia memberikan analogi dengan menceritakan beberapa artis dengan karya unik.
Salah satu artis yang ia sebutkan adalah Pilvi Takala yang merupakan seorang artis pertunjukan. Dalam salah satu karyanya, The Trainee, ia berpura-pura sebagai seorang karyawan magang di sebuah agensi teknologi. Namun kemudian ia hanya menghabiskan waktunya untuk menatap di depan meja kosong dan mondar-mandir di elevator dan mengaku sedang berusaha berpikir ketika rekannya bertanya. Pilvi ingin mengajak orang lain untuk mempertanyakan kembali gagasan bahwa tidak melakukan sesuatu adalah kegiatan yang sia-sia.
“Appearing as if you’re doing nothing is seen as a threat to the general working order of the company, creating a sense of the unknown,” they wrote, adding solemnly, “The potential of nothing is everything.”
Artis lain yang ia ceritakan, Techching Hsieh juga menantang gagasan yang kurang lebih sama melalui karyanya, One Year Performance. Dalam Cage Piece, pertunjukan yang ia lakukan dalam rentang waktu satu tahun, ia mencoba mengurung diri dan tidak berbicara, menulis, membaca, atau mendengarkan TV/radio. Berkebalikan dengan pemikiran orang lain, Hsieh justru merasa bebas untuk berpikir meskipun ia dikurung secara fisik.
“When a prisoner gets out of prison, they have to deal with society. It’s just a different cage. For me, I get joy from what I do … being in a cage I have ‘freedom thinking’, which is most important to me. Living as an illegal alien in New York, for example, I was not free because I was scared.” - Pluralmag
Penulis beranggapan bahwa kita perlu latihan untuk bisa berpaling dari attention economy. Ia pun mengakui bahwa dengan melakukan hal tersebut, kita akan mendapat respon skeptikal dari lingkungan, namun dengan melakukannya secara perlahan, kita jadi bisa mengevaluasi dan mengamati interaksi kita dengan lebih dalam.
A real withdrawal of attention happens first and foremost in the mind. What is needed, then, is not a “once-and-for-all” type of quitting but ongoing training: the ability not just to withdraw attention, but to invest it somewhere else, to enlarge and proliferate it, to improve its acuity.
Exercises in Attention
We experience the externalities of the attention economy in little drips, so we tend to describe them with words of mild bemusement like “annoying” or “distracting.” But this is a grave misreading of their nature. In the short term, distractions can keep us from doing the things we want to do. In the longer term, however, they can accumulate and keep us from living the lives we want to live, or, even worse, undermine our capacities for reflection and self-regulation, making it harder, in the words of Harry Frankfurt, to “want what we want to want.”
Di bagian ini Odell mengemukakan keterikatan antara perhatian dan kehendak. Ketika apa yang kita perhatikan mempengaruhi kemauan/kehendak pribadi kita, maka pengaruh attention economy di sini menjadi semakin signifikan. Di sinilah kebanyakan orang menjadi hilang kendali akan apa yang ia perhatikan ketika semua itu disuguhkan oleh media sosial.
Instead of focusing on the problem of how to make persuasion more ethical, we should focus on empowering people to have more self control.
Di sinilah kita perlu melatih diri untuk melakukan redirect/pengalihan arah dari hal-hal yang sebelumnya menyedot perhatian kita secara baku.
“To [break a habit], Devine said, you have to be aware of it, motivated to change, and have a strategy for replacing it.”
Ecology of Strangers
Bioregionalism teaches us of emergence, interdependence, and the impossibility of absolute boundaries. As physical beings, we are literally open to the world, suffused every second with air from somewhere else; as social beings, we are equally determined by our contexts. If we can embrace that, then we can begin to appreciate our and others’ identities as the emergent and fluid wonders that they are. Most of all, we can open ourselves to those new and previously unimaginable ideas that may arise from our combination, like the lightning that happens between an evanescent cloud and the ever-shifting ground.
Di sinilah kecintaan penulis akan alam makin terpancar dengan lebih jelas. Di bab ini ia banyak membahas bioregionalism dan menganalogikan hal-hal baru yang sebelumnya tidak kita perhatikan sebagai hal/orang asing (strangers).
Sebagai manusia, sering kali kita merasa segan akan hal baru karena merasa asing. Padahal rasa asing tersebut muncul karena konsep pemisahan yang kita ciptakan sendiri. Negara, ras, bahasa, dan sebagainya, adalah konsep ciptaan manusia.
Padahal, alam sendiri bekerja dengan tidak mengenal batas. Air yang berasal dari satu negara mungkin akan tersapu dan menjadi hujan di negara lainnya. Suatu bahasa mungkin banyak menggunakan kata serapan dari bahasa lain. Hal tersebut membuktikan bahwa secara alami, di dunia ini tidak ada yang benar-benar asing karena semuanya telah saling terhubung antara satu dengan lainnya tanpa kita sadari.
After all, if you were reading a book whose pages began to seem more and more similar until you were reading the same page over and over again, you would put the book down.
Teknologi pun berperan untuk memperkuat segregasi tersebut. Their.tube mencontohkan bagaimana kita akan disuguhi hal yang sama terus-menerus sehingga memperkuat confirmation bias sehingga lagi-lagi, kita jadi manusia yang takut akan hal asing dan hidup dalam gelembung kehidupan yang kita ciptakan sendiri.
Restoring the Grounds for Thought
IT’S TEMPTING TO conclude this book with a single recommendation about how to live. But I refuse to do that. That’s because the pitfalls of the attention economy can’t just be avoided by logging off and refusing the influence of persuasive design techniques; they also emerge at the intersection of issues of public space, environmental politics, class, and race.
Pada akhirnya, semuanya kembali kepada pribadi masing-masing. Menolak attention economy jelas adalah hal yang memang direkomendasikan oleh buku ini, tapi kita juga diberi ruang untuk berpikir dan menentukan sendiri apa yang ingin kita lakukan dengan waktu dan atensi yang kita peroleh kembali.
… doing nothing means disengaging from one framework (the attention economy) not only to give myself time to think, but to do something else in another framework.
Photo Credit : Jimmy Conover on Unsplash