How far I should push myself?
Pertanyaan ini muncul beberapa minggu lalu saat saya merasa sangat lelah dengan kegiatan sehari-hari. Yang katanya menyandang status mahasiswa, tapi tiap begadang bukannya mengerjakan tugas kuliah atau mengulang materi perkuliahan namun berkutat dengan kegiatan lain. Bahkan urusan pribadi seperti bertemu keluarga pun sekarang terasa seperti hiburan tersendiri karena jarang saya lakukan. Titik jenuh lalu muncul yang kemudian menimbulkan pertanyaan tadi. The question that I can’t discuss with another people (in which all they can do is just giving suggestions, and the choice is still up to me), so it stuck on my head for this couple weeks.
The thing is, semakin lama saya meragukan langkah saya dengan pertanyaan tersebut, yang ada di kepala hanyalah “keep pushing, keep pushing” kind of whisper. Memang terasa melelahkan, tapi saya menikmati setiap pengalaman baru yang saya dapatkan. Kegiatan-kegiatan tersebut rasanya seperti serial televisi. Tayang setiap minggu dan bahkan setelah tamat pun diganti dengan serial yang lain. Yang lalu menarik perhatian saya untuk terus menontonnya, lagi dan lagi.
Selanjutnya saya berfikir, tidak ada salahnya dengan menonton serial. Namun jika saya melakukannya terus menerus tanpa kontrol, itu baru salah. Maka dari itu, all I have to do is memberikan porsi yang tepat untuk serial yang paling saya sukai saja. Jadi dengan itu waktu saya yang lain masih bisa digunakan untuk pay more attention to study (yang jujur, jarang sekali saya lakukan akhir-akhir ini), keep in touch with my friends (dengan semua kegiatan-kegiatan tersebut waktu berkumpul bersama teman-teman saya juga somehow terbengkalai), dan yang pasti saya bisa punya lebih banyak waktu bersama keluarga.
[caption id=”” align=”aligncenter” width=”640”] Today is my Papa’s birthday so I stop by to his working place and give him a little cake for celebration. He’s not saying much things, but his smile is enough for me to guess what he really feel. Love ya much, muah! (:[/caption]