[Review] A Happy Death

What did it matter if he existed for two or for twenty years? Happiness was the fact that he had existed.

Ulasan ini mengandung spoiler!

Sudah lama rasanya saya tidak jatuh cinta pada pengarang dari buku yang saya baca. Mungkin terkahir kali itu terjadi pada Colin Wright, ketika saya membaca My Exile Lifestyle. Kali ini, Albert Camus berhasil menghidupkan kembali rasa itu.

A Happy Death, adalah karya beliau yang pertama kali saya baca. Satu buku ini saja berhasil meyakinkan saya untuk menjadi penggemarnya secara instan. Bahkan, alih-alih menulis retrospeksi tahun 2020 seperti yang saya rencanakan ketika membuka laptop malam ini, saya malah memutuskan untuk membuat resensi buku ini.

Only it takes time to be happy. A lot of time. Happiness, too, is a long patience. And in almost every case, we use up our lives making money, when we should be using our money to gain time.

Buku A Happy Death ini bercerita tentang kisah Patrice Mersault, seorang pemuda Algeria yang membunuh kenalannya bernama Roland Zagreus. Zagreus sendiri adalah seorang pria kaya raya yang kedua kakinya telah diamputasi. Dari obrolan mereka suatu hari, Zagreus menyiratkan bahwa hidupnya sekarang bagaikan kesia-siaan karena tidak bisa ia nikmati sebagaimana ia rencanakan sebelumnya. Mersault pun akhirnya membunuh Zagreus demi mengakuisisi kekayaannya.

But it was no longer Zagreus he saw now, only a huge, bulging wound of brain, blood, and bone.

Rasanya aneh, betapa saya bisa berempati dan akhirnya setuju pada keputusan Mersault untuk membunuh Zagreus. Apalagi karena dari obrolan mereka, Zagreus agaknya memang memberi izin bagi Mersault untuk melakukan hal tersebut.

… travel now meant an alien way of life to him: wandering seemed no more than the happiness of an anxious man.

Setelah membunuh Zagreus, Mersault pun kabur dengan kekayaannya dan memulai perjalanan untuk mencari kebahagiaannya. Hal yang pertama ia coba salah satunya adalah berpetualang di Eropa. Ketika akhirnya bosan, ia pun memutuskan untuk kembali ke Algeria dan membeli rumah kecil serta menetap di sebuah kota pesisir, Chenoua.

“Believe me, there is no such thing as great suffering, great regret, great memory … Everything is forgotten, even a great love. That’s what’s sad about life, and also what’s wonderful about it. There is only a way of looking at things, a way that comes to you every once in a while. That’s why it’s good to have had love in your life after all, to have had an unhappy passion it gives you an alibi for the vague despairs we all suffer from.”

Salah satu yang saya suka dari buku ini adalah dialog yang Camus ciptakan di sini terkesan lebih blak-blakan, sehingga membuat karakternya lebih bisa diterima. Hal tersebut tidak saya temukan di bukunya yang lain seperti The Stranger yang kesannya lebih subtil sehingga membuat karakter lain menjadi lebih frustasi terhadap karakter utamanya.

the sea and the night were conversing on the beach and above the ruins.

Saya pun suka sekali dengan elaborasi penggambaran latar belakang lingkungan ala Camus di buku ini. Mungkin karena durasinya yang singat, maka penulis pun harus menemukan cara untuk menyampaikannya secara efisien namun tetap indah. Kalimat di atas adalah salah satu yang paling saya suka dari novel ini. Bagaimana penulis berhasil menggabungkan objek-objek untuk menggambarkan suasana malam di sebuah pantai dengan sangat apik.

Nothing is uglier or more degrading than sickness.

Satu yang mungkin kurang saya setujui dari kisah ini adalah bagaimana Camus seperti menyiratkan jika rasa sakit atau kekurangan fisik adalah penghalang kebahagiaan. Namun, menurut saya hal itu tidak begitu mengganggu karena konteksnya, gagasan itu memang diperlukan untuk pengembangan cerita di kisah ini.

And stone among the stones, he returned in the joy of his heart to the truth of the motionless worlds.

Akhirnya, meskipun berakhir dengan kematian, saya merasa ceritanya berakhir dengan memuaskan dan bahagia. Sesuai judulnya, A happy death menjadi gambaran masuk akal dan sangat apik dari perjalanan seorang anak manusia yang berakhir dengan bahagia dari sudut pandang seorang absurdist.

Photo by Alona Po on Unsplash