Untold advice from Future Leader Summit 2014

“Saatnya pemuda berkontribusi untuk bangsa.” Kalimat ini tertulis di kaus kepanitiaan sebuah acara konferensi pemuda dimana saya ikut ambil bagian sebagai panitianya. Future Leader Summit 2014. Sebuah acara yang sudah (kurang lebih) setengah tahun saya dan teman-teman lain persiapkan. Persiapan yang pastinya tidaklah singkat.

Tahun lalu saya ada di posisi peserta. Bertemu dengan banyak pemuda inspiratif lain dari seluruh Indonesia, mendapatkan banyak inspirasi baru dari serangkaian acara yang ada, mendengar cerita dari para pembicara inspiratif yang menggugah naluri nasionalisme saya, semuanya membuat saya bergairah untuk ikut serta berkontribusi untuk bangsa. Gairah tersebut kemudian membuat saya tertarik untuk menjadi panitia penyelenggara acara tersebut di tahun selanjutnya. Satu yang terbersit di benak saya waktu itu adalah saya ingin lebih banyak pemuda lain di Indonesia merasakan pengalaman menakjubkan yang saya dapatkan di FLS tahun lalu.

Tahun ini setelah acara ini berhasil kami selenggarakan, suatu pertanyaan justru mengganggu naluri saya. Benarkah ini salah satu kontribusi untuk bangsa yang ingin saya wujudkan?

Saya justru agak khawatir jika semua bagian acara ini menganggap bahwa dengan ikut ambil bagian di acara ini, mereka sudah berkontribusi untuk bangsa. Padahal dengan berakhirnya acara tersebut, pekerjaan rumah kita justru bertambah banyak. Jika kita tetap tidak berbuat apa-apa, maka acara tersebut hanya jadi seremonial tahunan belaka. Tapi kemudian saya menemukan ini dan seketika saya pun terharu.

jjb “Allah, thank you so much for this experience. I knew it will worth like this”
Rasanya semua rasa lelah terbayar lunas. Mimpi yang selama ini saya pertahankan walaupun ada beberapa hal yang sedikit mengendurkannya seketika terasa nyata. Saya berhasil menyentuh mimpi yang tadinya terasa jauh itu. Alhamdulillah..

Mungkin itu belum seberapa untuk membuktikan bahwa kita semua telah melakukan upaya kontribusi untuk bangsa. Tapi setidaknya kita telah menyebarkan dan menularkan semangat itu. Kontribusi pun tak berhenti disini karena kita masih memiliki jalan panjang di depan kita untuk diisi dengan bentuk kontribusi yang lain. Semoga (:

Terlepas dari tujuan kami untuk berkontribusi bagi bangsa, pelajaran lain juga banyak saya petik dari acara ini. Beberapa diantaranya :

Strong reasons are needed to face the mess

Melalui event ini, saya banyak belajar untuk mengampu mimpi di pundak saya sendiri. Karena seberapapun kalian dibantu atau berkolaborasi dengan orang lain, what matter the most adalah tekad diri kita sendiri. Bakal gampang nyerah kalo kita nggak punya tekad personal.

Plan for the best, prepare for the worst

Lalu timing. Persiapan dan manajemen waktu memang sangat penting di setiap acara.

By failing to prepare, you prepare to fail - Benjamin Franklin
Persiapan kita mungkin sudah cukup, namun manajemen waktu (khususnya saya) terfokus pada minggu terakhir sebelum acara sehingga banyak improvisasi yang harus dilakukan. Tapi disinipun saya memetik satu pelajaran lagi. Plan B bukanlah yang terpenting, yang terpenting adalah berfikir kreatif untuk menutupi plan A yang gagal.

Be memorable is the key!

Di suatu kesempatan, saya sempat mendapat ceramah dari seorang brand activation expert yang sering mengadakan event-evet. Dia mengatakan, percuma jika kita menyelenggarakan sebuah event yang nantinya malah dilupakan oleh pesertanya. Beliau berpesan untuk memastikan semua orang menjadi mengerti tetang event yang kita buat setelah mereka menghadirinya.

Serangkaian acara yang kita ciptakan dalam sebuah event, akan mewujudkan pengalaman yang kemudian mewujukan brand activation terhadap para peserta. Setelah brand activation berhasil diwujudkan, hal tersebut kemudian akan menimbulkan brand experience yang akan menyebar ke lebih banyak orang lagi melalui orang-orang yang terlibat pada acara tersebut. Brand experience ini akan subjektif nilainya, tergantung kesan yang diterima oleh masing-masing orang.

Nah, untuk mewujudkan brand experience yang baik, disinilah keberhasilan acara berperan dan properti seperti suvenir menjadi pendukungnya. Divisi saya, sedikit banyak bertanggung jawab dalam hal tersebut. Konsep FLS kit (suvenir khas FLS) bahkan sudah kita rencanakan dari awal pembentukan panitia. Tanpa disadari, kita sudah mempraktekan konsep brand experience jauh sebelum saya mendengarnya dari brand activation expert tadi.

Tapi kemudian beliau menambahkan,

Imagine if the event is your own wedding!

Beliau mengibaratkan, kita harus menganggap event yang kita rencanakan tersebut sebagai pesta pernikahan kita sendiri. Kembali ke topik Be Memorable tadi, kalian tidak ingin pernikahan kalian berjalan tanpa suvenir kan? Suvenir adalah salah satu alat untuk mengenang event tersebut (ibarat hadiah, memandang sebuah benda yang kita dapat dari seseorang mengingatkan kita akan orang tersebut kan?). Disinilah saya belajar banyak untuk menciptakan pemicu kenangan yang baik untuk semua aspek di acara tersebut.

[caption id=”attachment_806” align=”aligncenter” width=”640”]fls-kit Looking at those photos, I’m just instantly feeling so happy. image credit (clockwise from left) : @fiyaemon’s ig, @trikurniam’s ig, @dianntyas’s ig, @sarahlitany ‘s ig[/caption]

• Level kebahagiaan
Di acara ini, saya kebetulan sempat membantu divisi lain menjadi_ Liaison Officer_ seorang pembicara. Kali ini adalah Pak Akhyari Hananto founder dari Good News From Indonesia, atau sering disapa Pak Arry. Saya baru mengenal sosoknya di kesempatan ini, namun GNFInya saya sudah tau dari dulu. Menemani beliau selama sehari membuat saya memetik banyak pelajaran dari sosok beliau.

Ada cerita saat saya mengantarnya jalan-jalan mengelilingi kota Semarang. Saat itu kami sempat melewati sebuat kawasan rumah elit. Dengan santainya, dia berbicara “Saya sih nggak pernah mimpi punya rumah seperti itu. Punya keluarga, pekerjaan, kendaraan, dan bisa jalan-jalan ke luar negeri saja saya sudah cukup. Level kebahagiaan saya mungkin berbeda sama mereka.”

Saya jadi teringat pertanyaan teman beberapa waktu lalu. Dia bertanya kapan terakhir kali merasakan kebahagiaan yang sebenarnya? Saat saya masih berpikir, seorang teman lain menjawab “Waktu kumpul sekeluarga komplit.” Saya jadi kembali berpikir, kapan terakhir kali kumpul sekeluarga lengkap. Saat membayangkannya, saya pun jadi mengamini jawaban teman saya tersebut. Sebenarnya sekarang pun saya merasa bahagia. Terlepas dari semua kekhawatiran masa depan dan penyesalah masa lalu, saya mencoba bersyukur akan apa yang saya punya atau apa yang terjadi di hidup saya hari ini.

Level kebahagiaan akan menentukan saat dimana seseorang akan merasakan puncak kebahagiaan. Mungkin hampir sama seperti yang saya sampaikan di tulisan ini. Setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda untuk memperoleh kebahagiaan. Ada yang bahagia saat memiliki banyak uang, ada yang bahagia saat berkumpul dengan orang-orang terkasihnya, dan lain-lain. Saat ini saya sedang mempelajari teori kebahagiaan sederhana. Kebahagiaan yang tak bersyarat. Kebahagiaan yang tak memerlukan pemicu yang rumit untuk merasakannya. Kebahagiaan dari rasa syukur atas apapun yang terjadi pada diri kita sehari-hari. Hal tersebut saya pelajari dari sebuah buku berjudul Indonesia Bersyukur (well, saya mendapatkan buku ini dari salah satu pengarangnya langsung. Pak Akhyari Hananto (: ). Bukan tipikal buku yang akan saya beli/baca ketika berada di toko buku, sebenarnya. Tapi karena ini pemberian (saya selalu berusaha mengapresiasi apapun yang orang lain berikan pada saya), saya pun mencoba membacanya. Ternyata banyak juga pengetahuan-pengetahuan baru yang saya dapat dari buku tersebut.

[caption id=”attachment_802” align=”aligncenter” width=”640”]DSC05527 Btw, siapa nih yang stiker kolaborasinya lengkap kaya gini? :D[/caption]

Masih ada banyak hal lagi yang saya pelajari dari penyelenggaraan acara tersebut sebenarnya. Kalau saya mau sedikit saja mengingat-ingatnya lagi, pasti tulisan ini akan jadi sangat panjang. Jadi saya akan berhenti disini. (: