[review] Filosofi Teras

2019-06-06_10-19-42

Stoisisme adalah filosofi yang sangat pragmatis dengan orientasi manajemen emosi melalui kendali nalar, presepsi, dan pertimbangan. - Henry Manampiring

Rasanya jarang sekali saya membuat resensi buku karya penulis lokal. Masalahnya, saya lebih sering baca buku non-fiksi, sedangkan industri perbukuan lokal menurut saya masih didominasi buku fiksi. Kalaupun ada yang non-fiksi, kebanyakan genrenya humor atau buku motivasi yang judulnya terkesan hard-selling. Jarang banget nemu yang rasanya klop sama selera saya.

Nah, kali ini adalah sebuah pengecualian yang menggembirakan. Buku Filosofi Teras karya om Henry Manampiring (aka om Piring) ini menurut saya memberi angin segar di dunia literasi lokal karena genre yang begini nih jarang banget ditemuin.

Meskipun jauh sebelum membaca buku ini saya udah follow om Piring di Twitter, buku ini adalah karya pertama beliau yang saya baca. And I can safely say that he’s an awesome author, indeed! Saya pengen bahas om Piringnya dulu nih, karena saya pikir dia termasuk penulis langka di industri literasi lokal.

Kalau kebanyakan pengarang lokal mulainya dari genre fiksi, atau humor, nah Om Piring ini dari awal memang konsisten untuk membuat karya non-fiksi. Itulah yang menurut saya patut diapresiasi, karena industri buku lokal memang sangat butuh variasi genre. Melihat portofolio karya beliau di laman Goodreas-nya, menurut saya buku Filosofi Teras ini, selain membuktikan kedewasaan karya si penulis, juga semakin memperkokoh posisi beliau sebagai penulis non-fiksi yang kawakan di Indonesia.

Membahas Filosofi Teras atau Stoisisme sendiri, konsep ini memang menarik bagi saya secara pribadi. Sebelum membaca buku ini pun saya sudah beberapa kali mendengar tentang filosofi ini. Mungkin itulah mengapa, bagian awal buku ini terasa agak membosankan bagi saya, karena saya sudah berkali-kali mendengar konsep dikotomi kendali sebelumnya.

Dikotomi kendali sendiri mengajarkan bahwa dalam hidup ini, ada hal-hal yang di bawah kendali kita dan ada yang tidak. Karena itulah, konsep ini menekankan supaya kita fokus ke hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan tak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang diluar kendali kita.

Sebelum membahas dikotomi kendali, buku ini dibuka dengan pembahasan survey khawatir nasional yang penulis adakan secara daring. Dalam survey tersebut, terkuak bahwa banyak sekali macam-macam kekhawatiran yang dirasakan oleh para peserta survey tersebut seperti kekhawatiran tentang studinya, tentang relationship (bagi yang memiliki hubungan) dan tentang jodoh (bagi yang lajang), tentang finansial, tentang pekerjaan, sampai orang tua yang mengkhawatirkan tentang masa depan anaknya.

Kenapa membahas tentang kekhawatiran? Karena hal ini sangat erat kaitannya dengan dikotomi kendali. Umumnya, kekhawatiran muncul karena keinginan kita untuk mengontrol hal-hal yang sebenarnya di luar kendali kita. Padahal, seharusnya kita fokus pada apa yang bisa kita kendalikan. Dalam buku ini dijelaskan lebih detil, contoh-contoh penerapan dikotomi kendali yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

“It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor.” - Seneca (Letters)

Dalam bab Mengendalikan Interpretasi dan Presepsi, penulis memaparkan konsep STAR yang merupakan kepanjangan dari Stop,Think and Assess, dan Respond. STAR ini adalah langkah-langkah yang bisa kita gunakan untuk mengendalikan emosi negatif. Bahwa ketika merasakan emosi tersebut, kita perlu secara sadar menghentikan (stop) emosi tersebut terlebih dahulu, sebelum berpikir (think) dan menilai (assess) kejadian tersebut secara rasional, lalu diakhiri dengan aksi (respond) yang merupakan hasil dari pemikiran yang didasarkan pada nalar.

Buku ini baru benar-benar menarik bagi saya ketika memasuki bab pertengahan yang membahas banyak konsep Stoisisme seperti Premeditatio Malorum (atau yang penulis sebut sebagai Imunisasi Mental), Amor Fati (mencintai nasib), dan Practice Poverty (latihan menderita). Premeditatio Malorum adalah teknik untuk memperkuat mental dengan membayangkan semua kejadian buruk yang mungkin terjadi di hidup kita di hari ini dan ke depannya. Sedangkan Amor Fati mengajarkan kita untuk tidak hanya menerima kejadian yang memang diluar kendali kita, namun juga untuk mencintai takdir tersebut. Yang terakhir, practice poverty, menurut saya cocok menjadi kelanjutan dari premeditatio malorum. Jika pada premeditatio malorum, kita diajak untuk membayangkan kemungkinan tersebut, practice poverty adalah memaksa kemungkinan buruk itu dalam kehidupan kita agar kita tahu rasanya berada dalam posisi kesusahan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berpuasa (melatih kelaparan), atau melakukan digital detox (latihan untuk hidup tanpa internet), dll.

“Kamu sungguh sial jika kamu tidak pernah tertimpa musibah. Karena artinya kamu menjalani hidup tanpa pernah menghadapi ‘lawan’. Tidak ada yang tahu kemampuanmu seseungguhnya - bahkan dirimu sendiri tidak” - Senece (On Providence)

Ada bagian yang bagi saya lumayan mind-blowing di bagian tentang kekhawatiran orang tua. Di situ penulis sempat membahas tentang pemikiran bahwa “anak harus berbakti pada orang tua karena pengorbanan orang tua.” Padahal, membimbing dan berkorban untuk anak adalah hal yang selaras dengan alam karena itu memang kewajiban orang tua, jadi orang tua pun tidak perlu mengungkit-ungkit hal tersebut sebagai investasi.

Boom! Rasanya sangat mak jleb. Meskipun bab tersebut lebih diperuntukan untuk para orang tua, saya sendiri sebagai anak sering kali merasa in-debt pada kedua orang tua sehingga bab ini terasa sangat mengena. Menurut saya, sebagai anak, kita pun perlu berpikir bahwa berbakti kepada orang tua merupakan hal yang selaras dengan alam. Jadi, kita tak perlu memikirkan hal tersebut sebagai balas budi, melainkan sebagai hal yang memang patut kita lakukan sebagai anak.

Orang-orang yang sangat menginginkan dikenang sesudah mati lupa bahwa mereka yang akan mengenangnya pun akan mati juga. Dan begitu juga orang-orang sesudahnya lagi. Sampai kenangan tentang kita, diteruskan dari satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam. - Marcus Aurelius (Meditations)

Semakin dibaca, saya pun merasa bahwa konsep stoisisme ini memang sangat sejalan dengan kepribadian saya. Bahkan, di antaranya sudah saya praktikan. Bab tujuh, yang membahas tentang orang-orang menyebalkan, mengingatkan saya pada sebuah tulisan lama, tentang mereka yang mengabaikan hati nuraninya. Pada bab terakhir, tentang ritual untuk mempraktikan stoisisme di malam hari, bahkan menggunakan pertanyaan yang kurang lebih sama dengan pertanyaan yang saya gunakan untuk menulis jurnal harian.

Yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. - Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Di awal, Om Piring memang sempat bilang kalau bukunya ini diperuntukkan untuk memicu minat pembaca untuk mempelajari filosofi ini lebih dalam. Saya rasa, tujuan tersebut sangat berhasil. Karena sekarang, saya jadi penasaran banget pengen baca Meditations.

In a way, bisa dibilang stoisisme ini mengajarkan tentang “how not to be an a**hole.” Dan saya rasa, ini yang membuat buku ini terasa makin penting untuk dibaca lebih banyak orang.

NB:
Thanks untuk Diky yang merelakan bukunya untuk dibaca duluan padahal yang punya pun belum baca sampai selesai.