[Review] Cancel the Wedding
Jarang-jarang nih, saya membuat review novel. Tapi saking serunya novel yang satu ini (plus, mumpung saya lagi gabut), boleh lah ya.
Leo and I were vanilla ice cream. Consistent but bland.
Seperti judulnya yang straight forward, Cancel The Wedding ini menceritakan tentang kehidupan Olivia yang sedang mengalami kebimbangan. Meskipun punya kehidupan berkecukupan dan sudah bertunangan dengan pasangan yang bisa dibilang decent, ia masih belum yakin ketika Leo (tunangannya) mengajaknya menikah. Karena itu, ia memutuskan melakukan road trip bersama ponakannya (Logan) ke Huntley, Georgia, untuk mengenal tempat kelahiran ibunya yang sudah meninggal setahun lalu. Sebelum meninggal, ibunya memang berpesan supaya keduanya anaknya menabur abunya di tanah kelahirannya. Namun sampai sekarang, Olivia dan Georgia (kakak Olivia) belum sempat juga memenuhi permintaan ibunya.
Why are relationships between mothers and daughters always so complicated?
Saya sendiri sebenarnya mengira jika novel ini akan berfokus pada hubungan ibu dan anak. Itu juga yang awalnya membuat saya tertarik pada novel ini. Namun ternyata, ceritanya lebih seperti kombinasi antara drama, percintaan, dan misteri.
All of my instincts recoiled. How weak a person do you have to be to need another person in order to breathe? “I don’t need someone to rescue me like that, Mom.”
Mungkinkah Olivia sedang mengalami quarter life crisis di usia 32 tahun? Entahlah.. Yang jelas, permintaan ibunya yang belum sempat ia penuhi menjadi alasan yang empuk baginya untuk menghindar sementara dari Leo dan Georgia untuk berpikir dan merenungkan kehidupannya.
When someone did or said something particularly stupid, instead of arguing back my mom would shake her head very slowly and say, “Bless her heart.” As if it wasn’t worth getting upset over, clearly God had made that person stupid and all you could do for the ignorant was feel pity and pray for a jump in their IQ.
Tapi ternyata, perjalanan yang rencananya hanya beberapa hari malah jadi berlangsung lebih lama setelah ia menemukan rahasia masa lalu ibunya yang ia tak pernah ketahui. Menguak satu per satu rahasia tersebut membuatnya menyadari jika ibunya memiliki sisi lain yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia pun jadi penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut terutama kenapa ibunya menutupi masa lalunya selama ini.
It’s amazing how completely still the body can be when the mind is racing.
Sulit untuk percaya jika ini adalah karya pertama Carolyn T. Dingman karena ceritanya begitu memikat dan membuat pembacanya susah berhenti. Plot cerita dan karakter di buku ini bisa dibilang cukup matang. Dan meski tidak ada karakter penulisannya yang menonjol, tapi teknik penulisan Carolyn di buku ini menurut saya sangat pas untuk membuat pembaca cukup penasaran untuk mengikuti ceritanya.
Being with someone shouldn’t be so much work.
Apalagi kisah manis antara Olivia dengan Elliott (pria yang membantunya menyelidiki masa lalu ibunya) jadi daya tarik tersendiri dari keseluruhan cerita di buku ini. Karakter Elliott yang sungguh lovable membuat pembaca ikut jatuh hati dengan mudah. Banyak sekali momen mereka yang membuat saya jadi ikut tersenyum ketika membacanya. Gemes, kalau bahasa anak sekarang.
And I think I had finally come to understand what she meant about needing someone in order to breathe.
Bisa dibilang, ceritanya berakhir dengan satisfying. Dan overall, saya rasa buku ini cocok untuk dinikmati di akhir pekan ketika kalian punya banyak waktu sehingga kalian tidak dibuat penasaran. Atau bisa juga sih, dicicil sembari nunggu buka puasa (hashtag #ngabuburead). Kalau bukan penyuka novel seperti saya aja suka, mungkin kalian perlu coba juga.
Photo by averie woodard on Unsplash