Berani Mengubah
Ada 2 hal yang saya syukuri dari sifat pelupa saya. Yang pertama, saya jadi mudah memaafkan. Yang kedua, saya jadi lebih rajin mencatat. Lebih mudah memaafkan karena saya juga mudah melupakan kesalahan orang lain. Dan lebih rajin mencatat karena saya sadar akan kapasitas memori ingatan saya yang kurang memadahi, jadi saya memutuskan untuk mencatat semua hal yang tidak ingin saya lupakan. Contohnya, setiap hari saya memiliki daftar kegiatan yang harus saya lakukan pada hari itu. Bahkan untuk kegiatan remeh temeh seperti memotong kuku di hari jum’at! haha, blame my memory.
Tapi atas dasar sifat pelupa ini juga yang membuat saya jadi suka menulis blog. Banyak pemikiran-pemikiran yang saya tuliskan lewat blog karena akan sayang sekali jika hal tersebut tertumpuk oleh pemikiran baru dan akhirnya terlupakan. Termasuk pemikiran-pemikiran setelah saya membaca buku.
Baru-baru ini saya baru saja menamatkan buku Berani Mengubah karangan Pandji Pragiwaksono. Salah satu blogger favorit (jika tidak dibilang inspirator)saya. Pandji-lah yang membuka mata saya akan keindahan Indonesia lewat e-book Naional.Is.Me-nya. Dan sejak saat itu saya jadi berkeinginan untuk berkeliling Indonesia.
Setelah membuat saya jatuh cinta akan keindahan Indonesia di Nasional.Is.Me, di buku ketiganya ini (yang pertama Nasional.Is.Me, lalu Merdeka dalam bercanda) Pandji mengajak kita menyelami lebih banyak hal tentang Indonesia. Dari mulai politik, hukum, ekonomi, Indonesia (problematikanya), persatuan, dunia dan aksi perubahan. Dasar pemikirannya kebanyakan sudah pernah saya baca di blognya. Namun tetap menarik karena Pandji membahasnya lebih detil lagi dan bahkan dilengkapi dengan aksi perubahan di setiap akhir bab.
Di bab pertama “Belajar Politik”, Pandji mengajak kita untuk tidak tutup mata akan praktik politik yang terjadi di sekitar kita. Jangan jadi orang mau dibodohi karena tidak mau tahu. Saya sendiri jadi lebih antusias untuk mengenal calon pemimpin daerah saya ketika akan diadakan pemilihan pemimpin. Karena saya sadar, rakyat adalah objek mutlak pemerintahan, dimana semua yang dilakukan pemerintah yang merasakan imbasnya ya rakyat. Rasanya bodoh sekali jika kita tidak mau tahu tentang pemimpin kita sendiri. Analoginya seperti menyerahkan proyek pembangunan rumah kita ke arsitek yang tidak kita kenal, tapi kita menginginkan rumah yang bagus.
Aah, dan satu lagi.
Jika hak pilih Anda saja bisa dibeli oleh calon pemimpin, jangan salahkan ketika mereka melakukan korupsi. Lah, kalian aja disuap mau kok.. (:
Lalu di bab kedua “Belajar Hukum”, Pandji mengajarkan kita untuk menjadi lebih pintar lagi menghadapi hukum. Dia mencontohkannya dengan hal yang sangat lumrah di masyarakat, tilangan polisi. Menjadi catatan saya juga untuk selalu meminta slip biru ketika menghadapi tilangan polisi.
Di bab ketiga “Belajar Ekonomi”, saya belajar banyak tentang ekonomi khususnya di Indonesia. Dan sekarang saya bahkan tidak berani membayangkan lebih jauh bagaimana keadaan Indonesia 25 tahun lagi ketika cadangan BBM kita habis dan harus mengikuti harga dunia. Selain terbayang harganya yang akan kelewat mahal, terbayang juga bagaimana repotnya jika infrastruktur transportasi kita masih seperti sekarang sedangkan keadaan harga BBMnya sudah berbeda (Well, kalo dihitung-hitung 25 tahun lagi, berarti saya akan mengalami keadaan ini di usia 45 tahun! Fyuuuh).
Di bab ini juga saya jadi tahu kamuflase partai politik yang numpang pencitraan lewat sejumlah fenomena ekonomi yang diantaranya adalah pada saat kenaikan dan penurunan harga BBM. Yang mana uhm well, saya benci sekali segala macam pencitraan.
Di buku tersebut dituturkan bahwa rumusnya adalah seperti ini : Ekonomi membaik = rakyat lebih makmur = pendidikan lebih terjangkau = rakyat lebih cerdas = rakyat lebih kritis = pemerintah tidak bisa lagi membodohi rakyat = praktik politik yang benar = pembangunan yang baik = negara yang hebat. Seperti yang dituturkan di buku tersebut juga, pertumbuhan ekonomi Indonesia itu ibaratnya alon-alon asal kelakon. Ya, semoga saja.
Di bab berikutnya “Memahami Indonesia”, dibahas sedikit tentang fenomena penggunaan produk Indonesia sebagai wujud kecintaan terhadap Indonesia. Tidak salah menggunakan produk Indonesia (bagus malah!), yang salah adalah ketika yang tidak menggunakan produk Indonesia kemudian disalahkan. Dan sedikit pemikiran dari saya adalah janganlah kemudian produk Indonesia menjadi di atas angin karena dibela, kemudian kurang memperhatikan perihal kualitas. Saya bukannya skeptis atas produk Indonesia, lagi pula saya juga bukan fanatik produk asing. Hanya ingin menjadi catatan sediri saja, siapa tahu saja saya juga jadi produsen di masa depan. Amin! (:
“Banyak orang yang pakai batik, celana kain asli Indonesia, sepatu buatan Indonesia, tetapi korup dan mencuri hak orang lain.” - Berani Mengubah
Jadi intinya cinta Indonesia tidak ditunjukan dengan barang apa yang dia pakai, bahasa apa yang dia gunakan, merek apa yang dia beli, namun dari niat di balik setiap tindakannya. Satu lagi catatan menarik dari buku tersebut “Cinta sesuatu bisa dilakukan tanpa anti terhadap yang lain.”
Pada bab “Bersatu Bukan Jadi Satu” Pandji mengupas topik yang sering kali menjadi alasan dasar peperangan yaitu agama. Sering kali agama dijadikan dasar perseteruan bahkan peperangan (karena masing-masing merasa merekalah yang paling benar). Ada satu istilah menarik yang saya dapat dari bab ini, agnostik. Agnostik adalah orang yang skeptis terhadap Tuhan (dan agama tentunya), tetapi tidak menepis kemungkinan adanya Tuhan. Kalau diberikan bukti yang kuat tentang adanya Tuhan, bisa jadi dia akan percaya Tuhan. Tanpa bukti, seorang agnostik akan terus mempertanyakan Tuhan dan agama. Esensinya adalah seorang agnostik “tidak mau asal percaya.”
Yang jadi menarik adalah karena saya pernah mengalami kejadian mirip seperti seorang agnostik tadi. Bedanya, saya masih percaya akan Tuhan, namun saya mulai mempertanyakan Tuhan itu apa sih? Dari kecil saya hanya diajarkan untuk menjalankan perintah Tuhan tanpa dikenalkan lebih dalam apa itu Tuhan. Maka dari itu saya memilih untuk mencari tahu. Namun dengan bayang-bayang pertanyaan itu saja saya menjadi takut. Takut jika saya tidak menemukan jawabannya dan malah menjadi ateis. Tapi Alhamdulillah, perlahan saya mulai mafhum akan konsep ketuhanan. “Tidak mau asal percaya” saya berujung pada percaya bahwa dunia ini pasti ada yang memulai. Okay, moving on.
Inti dari bab tersebut adalah rakyat Indonesia harus terbiasa dengan perbedaan. Kita adalah bangsa yang besar. Maka dari itu tidak mungkin kita semua sama. Dituliskan di buku tersebut “Bukan urusan kita membuat seisi Bumi menjadi seragam”. Yang harus kita lakukan adalah memahami perbedaan. Untuk kali ini, saya juga sudah sedikit mafhum. Tiga tahun di sekolah yang terdiri dari siswa yang berasal dari seluruh Indonesia membuat saya sedikit banyak terbiasa akan keragaman itu. Kuncinya menurut saya adalah berfikiran terbuka. Open minded.
Bab berikutnya adalah “Menciptakan Perubahan”. Bab yang agak berat menurut saya. Bab dimana kita diarahkan untuk fokus ke suatu kegiatan sosial yang spesifik yang sesuai dengan panggilan jiwa kita. Yang mana saya blank dong ya. Karena saya sendiri belum begitu yakin akan fokus perhatian saya. Yang saya rasakan setiap menolong orang yaa rasa bahagianya dobel aja gitu. ((:
Lalu di bab Mendunia, Pandji mengajak kita untuk mengenalkan Indonesia di kancah dunia. Pastinya dikenalkan dengan hal-hal baik dong ya. And this is what I really want to do. Dan untuk melakukannya, kita harus terlebih dulu melakukan pengenalan mendalam akan Indonesia sendiri sehingga tau apa yang bisa dibanggakan, melakukan pemahaman yang dalam akan persaingan dunia, dan berdedikasi terhadap passion yang kita tekuni.
Di bab terakhir yaitu Beraksi, Pandji hanya memberikan encouragement singkat bagi pembacanya untuk memulai perubahannya sendiri. Mendorong kita untuk mau mengucapkan apa yang ada di pikiran, melakukan apa yang dikatakan, dan mewujudkan apa yang ada di pikiran. (: