Priority activity
Semester ini, saya dihadapkan dengan seorang dosen yang terkenal sangat ketat terhadap nilai. Awalnya saya pikir ini adalah tantangan. Saya tanya ke seorang teman yang pernah diajar oleh dosen tersebut, dia bilang kuncinya mendapat nilai bagus di kuliah beliau adalah dengan mengerjakan setiap tugas yang diberikan. Saya berpikir “Okay, quite simple”. Saya juga tak ada masalah dengan cara pengajaran dosen tersebut.
Tapi ternyata, tugas yang beliau berikan lumayan banyak juga. 2 tugas besar sebelum UTS dan 2 tugas utama setelah UTS. Belum lagi tugas-tugas harian lainnya. Khusus untuk tugas utama sebelum UTS, awalnya saya pikir saya bisa menyelesaikan semuanya. Sampai akhirnya menjelang seminggu sebelum deadline, tugas saya belum selesai dan saya mulai stress. Mungkin ini memang salah saya karena tak menyicil mengerjakannya dari dulu.
Sampai akhirnya laporan tugas yang pertama pun sudah selesai. Saya menemui beliau dan melakukan konsultasi sebelum laporannya saya cetak. Ternyata laporannya pun menurut beliau masih salah! Lembur saya berhari-hari untuk mengerjakan laporan tersebut pun percuma sudah karena petunjuk pengerjaan laporan beliau yang kurang jelas. Belum lagi tugas kedua yang sama sekali belum saya sentuh.
Deadlinenya tinggal 3 hari. Mungkin jika saya mengerjakannya mati-matian masih bisa terselesaikan. Tapi kemudian, saya menyadari sesuatu.
Akan sangat melelahkan jika tugas ini saya paksakan. Akan menjadi tidak jujur jika saya mengerjakan ini hanya karena nilai. Akan sangat percuma, jika setelah semua ini saya kerjakan, nilai saya juga tetap jelek (karena saya sangat yakin tidak akan bisa membuat tugas besar setelah UTS). Saya pun berpikir sejenak sebelum melanjutkan tugas ini.
Saya melihat To do list dan Upcoming project list saya. Ada lumayan banyak hal yang harus saya selesaikan selain mengerjakan tugas tersebut. Saya merenung, lalu menemukan jawaban yang lumayan besar konsekuensinya.
“Saya tak menikmati pembelajaran dari pengerjaan tugas tersebut. Tanpa sadar saya mengerjakannya hanya demi nilai”
Setelah menyadari hal tersebut, saya berpikir untuk tidak melanjutkan pengerjaan tugas tersebut. Laporan tugas pertama yang sudah selesaipun tidak saya kumpulkan (Mengingat jumlah halamannya mencapai ratusan jika dicetak). Bukannya pelit, namun sejak beberapa waktu lalu saya berkomitmen untuk menggunakan kertas dan plastik lebih bijaksana. Percuma dong, ratusan kertas dihabiskan untuk mencetak laporan tapi nilai saya tetap buruk. Yang penting kan saya sudah mendapat ilmu dari pengerjaan tugas tersebut. (:
Saya tau konsekuensi atas ini semua. Kemungkinan besar saya hanya akan mendapatkan nilai D bahkan E walaupun saya mengerjakan soal-soal UTS dan UAS mati-matian nantinya. Tapi saya tetap memilih untuk menyerah di awal.
Menyerah karena :
1. Ini terlalu melelahkan
2. Mata kuliah ini bukan sesuatu yang saya suka pelajari
3. Berbagai project dan kegiatan lain yang lebih saya sukai
Mungkin saya egois karena hanya saya hanya ingin melakukan dan mempelajari sesuatu yang saya sukai. Tapi itu memang sifat dasar saya. Saya selalu mengibaratkan mata kuliah seperti menu makanan. Banyak menu yang disajikan, beberapa diataranya saya pesan, lalu saya makan satu persatu.
Menu yang saya sukai sudah pasti akan saya makan sampai habis. Menu yang sudah saya pesan, namun setelah saya cicipi saya tak menyukainya, akan saya tinggalkan. Dalam hal ini, mata kuliah tersebut adalah makanan yang saya cicipi. Saya memesannya, namun saya tidak menikmatinya.
Maaf, kalo saya ngajarin untuk menyerah di awal. Tapi saya memang tak suka menyiksa diri dengan melakukan hal-hal yang tak saya sukai dan membuat saya stress. Dan setiap orang punya prioritas sendiri-sendiri.. (:
Sorry sir, I’m giving up your assignments. But I promise I’ll do my best on examination (;