[Review] Siapa yang memasak makan malam Adam smith?

upload successful

Membaca buku ini, rasanya seperti menemukan kepingan puzzle yang selama ini hilang entah kemana. Selama ini saya sering merasa bahwa ada sesuatu yang kurang dengan sistem ekonomi dunia. Sebagai masyarakat modern, tentu saya tidak menafikan bahwa kemampuan finansial menjadi salah satu faktor penting dalam menjalani kehidupan di dunia nan kapitalistik ini. Namun, saya sendiri merasa tidak nyaman ketika semakin banyak dari kita, jadi seakan-akan mendewakan uang. Buku ini menjawab keresehan saya akan hal tersebut dengan sangat apik.

Dalam merumuskan masalahnya, Katrine Marcal, si penulis buku, berangkat dari premis yang cukup sederhana nan tepat sasaran. Namun, alih-alih menjawab pertanyaan sederhana yang menjadi tajuk bukunya, ia justru mengelaborasi tentang kekurangan teori ekonomi yang dikemukakan oleh Adam Smith, seorang pakar ekonomi modern yang merupakan salah satu pelopor sistem ekonomi kapitalisme.

Prinsip dasar teori ekonomi Adam Smith sebenarnya lumayan sederhana: “Bukan karena kebaikan hati tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan-diri mereka sendiri-sendiri.”

Singkatnya, karena setiap kita mementingkan kepentingan individu kita masing-masing, sistem ekonomi dunia jadi bisa berjalan seperti sekarang ini. Manusia ekonom dianggap sebagai manusia yang hanya akan melakukan sesuatu selama hal tersebut menguntungkan bagi mereka.

Karena prinsip dasar itulah, kerja-kerja yang dihargai dalam masyarakat ekonomi modern adalah kerja-kerja komersial, yang bisa dihitung. Sedangkan pekerjaan domestik seperti mengurus keluarga, dianggap sebagai pekerjaan non-ekonomis. Pekerjaan yang lain-lain.

Adam Smith lupa, bahwa agar ia, si tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti bisa bekerja di ranah “ekonomi”, para istri, ibu, atau saudara perempuan mereka harus menghabiskan waktu untuk mencuci baju, menyiapkan makan, membersihkan rumah, dan mengerjakan hal-hal domestik lain yang tidak dianggap dalam sistem ekonomi modern yang ia rumuskan. Mereka-mereka inilah yang berperan sebagai “tangan yang tak terlihat” dalam sistem ekonomi Adam Smith.

Dengan suatu cara, setiap masyarakat mesti menciptakan struktur cara untuk merawat orang lain, kalau tidak perekonomian atau apa pun lainnya tidak akan berjalan.


Kondisi ini diperparah oleh kaum neoliberal yang memandang kompetisi sebagai sebuah hubungan yang harus dikonstruksi. Buku tersebut mengemukakan bahwa liberalisme klasik berfokus pada pertukaran (jual-beli), sedangkan neoliberalisme berfokus pada kompetisi. Maka dari itu, politik harus diubah (bukan dilenyapkan) untuk mendukung kebebasan kompetisi di pasar.

Implikasi dari hal tersebut adalah masyarakat ekonomi yang berpikir bahwa dirinya sendiri adalah modal untuk berkompetisi di pasar. Esensi manusia menjadi berfokus pada tujuan ekonomi semata. Tubuh menjadi alat tukar yang bisa kita gunakan dan kita dituntut untuk berinvestasi padanya untuk mendapatkan keuntungan.

Hidup Anda adalah bisnis kecil dan modalnya, dalam hal ini, adalah diri Anda.

Demi tujuan tersebut, ekonom sekarang ini perannya kurang lebih seperti pendeta yang menyebarkan kepercayaan bahwa kemajuan ekonom merupakan jalur keselamatan.

Karena tuntutan ekonomi itulah, manusia sekarang ini jadi lebih mengidealkan kualitas maskulin yang lebih mendefinisikan perilaku ekonomi. Kualitas yang menjadikan manusia lebih berjarak, rasional, dan objektif. Meskipun sebenarnya, laki-laki pun tidak secara absolut mengilhami semua kualitas ini.

Akhirnya, kualitas yang lebih feminim jadi tersingkir. Kelemah-lembutan, kasih sayang, kerentanan, dan cinta jadi semakin tersingkir demi tujuan ekonomi yang lebih mendesak. Di dunia manusia ekonomi, perasaan jadi sesuatu yang kita sortir, tata, tumpuk, dan atur. Akibatnya, perasaan jadi semakin lenyap, tubuh kian subur menjadi sebuah modal kapital yang kita miliki, bukan semata-mata bagian dari diri manusia.

Dan itulah persisnya fungsi manusia ekonomi. Untuk kabur. Mengingkari tubuh, emosi, kebergantungan, dan konteks.

Pada akhirnya, ilmu ekonomi justru mengeksploitasi perasaan-perasaan yang secara alami merupakan bagian dari manusia seperti rasa takut, sehingga manusia ekonomi sekarang tidaklah bertindak berdasar keuntungan terbesar baginya, melainkan berdasarkan perasaan-perasaan yang dieksploitasi tersebut.

Ilmu ekonomi hari ini menciptakan nafsu alih-alih solusi. Dunia Barat membengkak karena obesitas sementara yang lain kelaparan.

Gagasan ekonom Inggris, John Maynard Keynes, yang berharap jika manusia jadi bisa mencurahkan diri pada kesenian, perkara spiritual, dan menikmati hidup, setelah kebutuhan ekonominya tercukupi, akhirnya menjadi harapan semata. Karena ilmu ekonomi justru diberlakukan pada segala sesuatu-termasuk kesenian, perkara spiritual, dan menikmati hidup.

Uang, sebagai konstruksi sosial, tumbuh seperti halnya agama. Yang dibutuhkan manusia hanyalah iman untuk mengamini bahwa perannya begitu penting dalam kehidupan kita sehingga kepentingan ekonomi lazim dijadikan sebagai prioritas utama. Meskipun dalam prakteknya, ilmu ekonomi masih belum memandang pribadi sebagai seseorang yang bertindak sesuai dengan dinamikanya dalam berserikat dan berhubungan dengan orang lain, dan bukan hanya demi kepentingan-diri.

“Ilmu ekonomi adalah metode; tujuannya adalah mengubah hati dan jiwa,” kata Margaret Thatcher.