My minimalism journey

Saya pertama kali tertarik untuk menerapkan konsep minimalism dalam hidup saya ketika membaca blog zen habits milik Leo Babauta. Ketika itu, saya sedang mencari bahan bacaan dan menemukan sebuah ebook gratis berjudul Focus yang ditulis oleh Leo sendiri. Saya heran mengetahui sosok Leo yang terlihat sangat sederhana menjalani hidupnya. Ia tak hanya beberapa kali menulis buku, namun juga membagikannya sebagai ebook secara gratis. Ia bahkan melepaskan copyright atas blognya zenhabits.net.

Baru setelah saya mencoba menerapkan sendiri konsep minimalism dalam hidup saya, perlahan saya seakan mengerti apa yang Leo rasakan. Melepaskan sesuatu memang selalu terasa sulit. Namun ketika kita melakukannya, kita sendiri bahkan akan terkejut bahwa kita tetap baik-baik saja tanpa semua hal itu. Tidak seperti yang kita khawatirkan sebelumnya.

Kisah Leo tersebut kemudian menginspirasi saya untuk melakukan penyederhanaan di hidup saya sendiri. Saya lalu mencari-cari apa yang bisa saya kurangi dari kehidupan saya. Dan beberapa hal inilah yang saya lakukan selama ini :

  • Menggunakan Flame dengan Firefox OS sebagai ponsel utama saya sehari-hari.

Firefox OS memang masih dalam tahap pengembangan. Namun, justru itulah yang menjadi kelebihan sehingga saya memutuskan untuk mencoba menggunakannya sebagai ponsel utama. Dengan ekosistem aplikasi Firefox OS sekarang ini, saya bisa tetap hidup normal dengan aplikasi yang saya butuhkan, tanpa godaan dari jutaan aplikasi yang tidak saya butuhkan lainnya. Meskipun sejujurnya, saya juga belum bisa menyingkirkan android sepenuhnya, tapi paling tidak saya sedang mencobanya.

  • Menggunakan beberapa warna pakaian saja.

Sebelumnya saya pernah bercerita tentang percobaan saya untuk hanya menggunakan tiga warna pakaian saja pada tulisan ini. Namun akhirnya saya menyerah karena aturan tersebut ternyata tidak membuat saya merasa nyaman. Awal bulan Agustus ini saya akhirnya memutuskan untuk melakukan percobaan lain. Mulai awal bulan ini, saya hanya akan menggunakan warna hitam, putih, dan beberapa warna pastel serta abu-abu. Tidak ada lagi warna mencolok (seperti warna merah yang masih saya gunakan di aturan sebelumnya) yang akan saya gunakan karena warna tersebut ternyata tidak membuat saya nyaman. Dan sejauh ini, saya merasa sangat nyaman dengan aturan ini. (:

  • Membuka kode sumber aplikasi yang saya buat selama ini.

Terinspirasi dari Leo yang melepaskan copyright atas blognya, saya akhirnya memutuskan untuk membuka kode sumber beberapa aplikasi yang saya buat (alias meng-open source-kannya). Meskipun itu juga berarti bahwa orang lain akan tau seberapa cupu kemampuan koding saya (haha). Tapi seperti yang saya tulis sebelumnya, tidak perlu jadi ekspert untuk berbagi ilmu, bukan? Jadi sekarang ini, semua proyek aplikasi tersebut bisa diakses melalui akun github saya.


Perjalanan menyederhanakan kehidupan yang saya jalani selama ini mengajarkan bahwa tidak mudah untuk mengetahui apa yang benar-benar kita butuhkan dalam hidup ini. Selama ini kebutuhan kita yang sebenarnya telah bercampur dengan tuntutan gaya hidup sehingga batasnya jadi semakin blur. Disinilah proses penyederhanakan kehidupan membuat batas tersebuat makin jelas.

Jika kita hanya membayangkan saja untuk membatasi berbagai hal dalam kehidupan kita memang jadi terdengar menakutkan. Saya juga tak pernah menyangka bahwa setelah mencobanya saya malah keasyikan dan ingin terus mencari hal lain untuk saya sederhanakan dalam kehidupan saya.

Saya ingat dulu ketika memulai project minimalisir, saya pernah membuat perumpamaan bahwa menyederhanakan kehidupan itu seperti menghapus tulisan yang sudah tak terpakai di sebuah papan tulis. Kita bukannya akan merasa sedih karena tulisan itu menghilang. Justru sebaliknya. Kebahagiaanlah yang kita dapatkan karena ruang kita menjadi lebih lapang untuk menampung kebahagiaan baru lainnya. (:

I’m in my early stage in minimalism journey. But as far as I know, it was a fantastic one! So, would you come with me?