Memaknai Pendidikan

2018-08-05_01-31-34

Akhir-akhir ini, saya sedang banyak berpikir tentang makna pendidikan. Dulu ketika saya masih duduk di bangku SD, sebagian bangunan sekolah saya rusak karena angin ribut. Saya masih ingat, waktu itu kami menata ulang ruang perpustakaan yang tak seberapa luas supaya bisa digunakan jadi kelas sementara. Sejak insiden itu, saya bermimpi untuk melanjutkan sekolah di kota agar bisa dapat fasilitas yang lebih baik.

Alhamdulillah mimpi saya tercapai. Saya senang bukan main ketika diterima di salah satu SMP di pusat kota kabupaten. Bagi saya, bersekolah di SMP tersebut jadi salah satu kehormatan yang sangat saya syukuri sampai sekarang. Saya jadi punya akses ke perpustakaan umum kabupaten yang tentunya lebih lengkap daripada perpustakan kecil di SD saya dulu. Saya bahkan bisa mengenal internet jauh lebih cepat dari teman-teman lain yang bersekolah di SMP di desa kami.

Karena itulah saya jadi ikutan sebal ketika adik saya (yang kebetulan seorang guru) bercerita tentang sistem penerimaan siswa sekarang yang dia nilai aneh. Di tingkat SMA/SMK, sekarang ada aturan tentang zonanisasi yang berarti mereka yang berdomisili lebih dekat dengan si sekolah akan mendapat prioritas. Bahkan ada lagi satu aturan lain yaitu untuk memprioritaskan mereka yang punya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Aturan yang menurut saya sangatlah absurd.

Bagaimana tidak absurd? Apa hubungannya zonanisasi dan SKTM dengan pendidikan? Bagi saya, aturan tersebut semacam shortcut yang diambil pemerintah karena mereka kehilangan akal untuk menyediakan fasilitas memadahi & menyamakan mutu pendidikan agar sekolah pinggiran juga diminati. Mereka juga terkesan kekurangan sumber daya (meskipun 20% APBN sudah dianggarkan untuk pendidikan) untuk membantu menyediakan pendidikan yang lebih terjangkau bagi masyarakat miskin.

Saya membayangkan yang terkena imbasnya bisa jadi anak-anak kampung seperti saya yang bermimpi mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih layak dari sekolah yang lebih maju yang kebanyakan ada di kota. Jika dulu ada aturan seperti ini, saya mungkin jadi kehilangan kesempatan mengakses teknologi dan fasilitas yang tidak tersedia di kampung saya.

Bagi saya masalah sebenarnya adalah banyak masyarakat yang gengsi jika anaknya tidak sekolah di sekolah favorit sehingga anak-anak berbondong-bondong ingin masuk ke sekolah favorit. Padahal itu pun bagi saya masih wajar, selama persaingannya terjadi dengan sehat. Jika menilik dari sudut pandang masalah tersebut, maka zonanisasi & SKTM tidaklah enyelesaikan masalah. Masyarakat akhirnya malah berbondong-bondong ingin jadi orang miskin supaya bisa mendapat SKTM, sehingga anaknya bisa masuk sekolah negeri. Yang diperlukan sebenarnya adalah pemerataan mutu dan fasilitas pendidikan sehingga tidak lagi jadi masalah sekolah di mana saja, ketika toh fasilitasnya juga sama.

Itu baru dari segi sistem pendidikannya. Belum lagi dari pola pikir pelaku pendidikan, baik pengajar maupun siswanya. Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah pesan whatsapp dari saudara sepupu yang baru akan masuk kuliah. Dia nanya-nanya tentang tempat kuliah & jurusan yang saya ambil dulu. Lalu di ujung percakapan, dia berpesan untuk minta dibantu mencari pekerjaan jika sudah lulus nanti.

Permintaannya bikin saya jadi mikir. Perasaan waktu saya kuliah dulu, yang saya pikirkan adalah jurusan mana yang kira-kira saya sukai, bukan bagaimana nanti saya dapat pekerjaan.

Memang lumrah bagi kita untuk berpikir tentang prospek karir dari jurusan yang akan kita tempuh. Tapi saya tak habis pikir, bagaimana anak-anak yang bahkan belum mulai kuliah, tapi sudah mengkhawatirkan bagaimana mendapatkan pekerjaan nanti. Seakan-akan tujuan dari kuliah itu ya hanya untuk mencari pekerjaan.

Ini agak terdengar munafik, tapi saya harap bukan itu tujuan utama kita melanjutkan pendidikan. Mendapat pekerjaan memang salah satu manfaatnya, tapi saya harap itu bukan menjadi tujuan utama.

Ini sebenarnya menjadi dilema bagi saya sendiri. Saya tahu banyak sekali kalangan di lingkungan saya yang masih berpikir seperti itu, tapi saya tak pernah 100% setuju dengan pendapat tersebut.

Di lain kesempatan ketika saya naik kereta ke kampung halaman, seorang bapak yang duduk di sebelah bertanya dengan heran ketika saya mengeluarkan buku dan membaca di perjalanan. Saya masih ingat jelas ia bertanya “Masih suka baca ya mbak?”.

Sebelumnya kami sudah ngobrol singkat tentang asal-usul & pekerjaan masing-masing. Beliau kebetulan salah satu pegawai pemerintah di bidang pendidikan. Saya tak akan membahas pertanyaan tersebut jika beliau tidak memakai kata “masih” di pertanyaannya. Namun penggunaan kata tersebut membuat saya berpikir bahwa beliau menganggap, membaca tidak diperlukan lagi ketika kita sudah lulus dan mendapat pekerjaan. Lebih kecewa lagi ketika pertanyaan itu datang dari seseorang yang notabene pelaku di bidang pendidikan.

Sebagai seorang anak, dulu saya juga sempat berpikir bahwa pendidikan itu sekedar bentuk tanggung jawab anak ke orang tua. Jadi, prosesnya: anak sekolah -> dapat nilai bagus -> orang tua bangga = kelar perkara. Namun tentu saja, sekarang saya sadar bahwa hal tersebut hanyalah bonus. Karena yang lebih diuntungkan dari pendidikan adalah pribadi kita masing-masing.

Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.

Seperti kata pepatah, belajar itu ya esensinya untuk mencari ilmu. Bukan mencari gelar atau pekerjaan, atau bahkan mengejar gengsi. Mungkin ini mimpi yang naif. Tapi saya berharap, generasi kita selanjutnya bisa memaknai pendidikan bukan lagi sebagai keharusan, tapi sebagai kebutuhan.