Main ke Jogja

IMG_20181108_105842-01

Jika diingat-ingat, rasanya ini kali ketigaku ke Jogja. Aku tak pernah mengenal baik kota ini meskipun banyak yang bilang Jogja begitu istimewa.

Seminggu sebelumnya, ketika aku berbincang dengan driver ojek online yang mengantarku di Jakarta, dia terdengar begitu antusias ketika kuberitahu aku akan ke Jogja minggu depan. Layaknya teman lain yang mengagumi kota Jogja, dia langsung bercerita mengapa Jogja begitu istimewa baginya tanpa perlu kutanya. Dua minggu sebelumnya, seorang teman juga berkomentar bahwa ia akan memilih tinggal di Jogja jika ia punya kebebasan untuk tinggal dimana saja sepertiku.

Sebenarnya ada apa dengan Jogja? Apa yang istimewa? Aku jadi semakin tergelitik untuk mencari tahu.

Sampai di stasiun, Jogja ternyata menyambutku dengan hujan. Tapi tak perlu waktu lama untukku merasa akrab dengan kota ini setelah disapa dengan bahasa Jawa oleh supir taksi yang akan mengantarku ke penginapan. Kami berbincang sejenak tentang konser Celine Dion di Borobudur yang ternyata bertepatan di hari kedatanganku.

Karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, esoknya aku memilih ke kafe Antology yang konon nyaman untuk sekedar singgah dan menyelesaikan pekerjaan atau tugas kuliah. Aku agak kaget ketika melihat harga di menu yang jauh lebih murah dibandingkan standar kafe di Bali/Jakarta. Selama ini aku tak pernah yakin ketika teman-teman bercerita jika biaya hidup di Jogja masih sangat terjangkau. Karena toh yang namanya gaya hidup pasti memang berbeda tiap orang. Tapi kali ini akhirnya aku harus mengangguk setuju.

Setelah dibuat kaget oleh harga di menu, Jogja ternyata punya kejutan yang lain. Aku justru bertemu kawan lama ketika menilik ruang coworking space Antology di lantai 2. Padahal aku belum sempat mengabari jika sedang berada di Jogja. What a small world, I was thinking.

Taman Sari jadi salah satu (dari dua) objek wisata yang aku kunjungi karena jaraknya sangat dekat dari penginapan. Arsitektur Taman Sari jadi mengingatkanku akan budaya Jawa yang penuh sopan santun. Beberapa pintunya yang pendek membuat kita selalu harus membungkuk begitu akan melewatinya. Nilai yang menurutku perlu kita jelaskan pada turis asing daripada sekedar menulis peringatan “watch your head”.

Salah satu yang bagiku sangat menarik dari Jogja adalah arsitektur Jawanya. Meyenangkan sekali bisa menemukan masjid dengan pilar kayu dan lantai tegel. Setelah beberapa bulan sebelumnya harus tinggal di Jakarta, arsitektur di Jogja seakan membawa angin segar bagi mataku.

Begitu juga tentang bagaimana Jogja sangat mendukung berbagai jenis kesenian. Beberapa hari jalan-jalan di kota ini, aku jadi hafal setiap kali melihat mural dengan detail eksklusif dan campuran warna yang khas. “Ini pasti karya Anagard” gumamku dalam hati. Yang unik, hostel tempatku menginap juga ternyata dihiasi mural dari artis yang sama.

Hari terakhir di Jogja, aku memilih berwisata seni ke Museum Affandi untuk menilik koleksi pribadi dan beberapa barang peninggalan seniman legendaris ini. Tapi tak hanya karya sang legendaris, museum ini juga menyajikan karya keluarganya yang sampai 3 turunan. Galeri 3 di museum ini dipenuhi berbagai karya dari Maryati, yang mana istri pertama dari sang legendaris. Begitu pula anaknya, Kartika, Juki, dan Rukmini. Terakhir di studio Gajah Wong, karya cucunya, Didit, yang bagi saya paling menonjol bakat melukisnya dibanding anggota keluarganya yang lain banyak dipajang.

Budaya seni kota Jogja yang kental dan ramah ramah penghuninya sepertinya kali ini berhasil memikatku. Pertemuan dengan kota Jogja kali ini mungkin hanya sekedar perkenalan, namun aku yakin kita akan lebih sering bertemu di masa depan. (: