[review] Ikigai, The Japanese Secret to a Long and Happy Life

Apakah rahasia yang bisa membuat seseorang memiliki umur panjang? Dua sahabat yang sama-sama berasal dari Spanyol, Hector Garcia (Hector sendiri kini sudah menjadi penduduk Jepang) dan Francesc Miralles mengungkap tentang rahasia-rahasia tersebut memalui buku ini. Inspirasi utamanya berasal dari penduduk Okinawa, satu area yang memiliki indeks life-expectancy paling tinggi, bahkan melebihi rata-rata nasional negara Jepang sendiri. Life-expectancy di Jepang sendiri merupakan yang tertinggi di dunia, yaitu 85 tahun untuk laki-laki dan 87.3 tahun untuk perempuan.

Saya sendiri sebenarnya sudah tertarik dengan buku ini sejak 2 tahun lalu ketika menemukannya di satu toko buku selagi transit di bandara Changi. Tapi gara-gara minggu lalu mendengar istilah ikigai lagi melalui sebuah podcast, saya jadi ingat kembali akan buku ini dan akhirnya membelinya (kebetulan) juga ketika transit di bandara Changi.

Sejauh ini, buku ini jadi buku terbaik yang saya baca di tahun ini. Tidak hanya penuh wisdom terutama dari budaya Jepang yang menurut saya sangat menarik, yang saya suka dari buku ini adalah bahwa nilai-nilai yang diajarkan juga tidak terkesan memaksa.

There’s no perfect strategy to connecting with our ikigai. But what we learned from the Okinawans is that we shouldn’t worry too much about finding it.

Berbicara tentang ikigai, istilah ini sebenarnya berasal dari bahasa Jepang yang maknanya kira-kira seperti irisan dari:

  1. Apa yang kita sukai
  2. Apa yang dibutuhkan dunia
  3. Apa yang bisa menghasilkan
  4. Apa yang kita mahir

Istilah ini seakan menjadi alternatif dari hingar-bingar istilah passion yang menurut saya makin berlebihan. Ikigai sendiri tidak melulu tentang pekerjaan, namun lebih luas mengenai “alasan kita hidup.” Penduduk Jepang sendiri percaya bahwa tiap manusia memiliki ikigai masing-masing yang membuat mereka bersemangat untuk menjalani kehidupannya.

Membahas tentang alasan hidup seseorang, buku ini juga menyinggung tentang logoterapi, sebuah terapi untuk mengungkap alasan seseorang untuk tetap hidup. Sebelumnya saya juga pernah membahas logoterapi di ulasan buku Man Searching for Meaning di sini.

“The pleasure, delight, creativity, and process when we are completely immersed in life” - State of flow by Csikszentmithalyi

Selain alasan hidup, “state of flow” juga menjadi elemen penting yang bisa menjadi pentunjuk akan ikigai kita. “State of flow” adalah keadaan dimana kita sangat terserap dalam kegiatan yang kita lakukan sampai-sampai kita bahkan mau berkorban hanya demi melakukannya.

When we spend our days feeling connected to what is meaningful to us, we live more fully; when we lose the connection, we feel despair.

Sebagai contoh, penulis menceritakan bagaimana Hayao Miyazaki, direktur utama dari studio animasi Ghibli Studio yang sangat bersemangat untuk menggambar. Bahkan sehari setelah memutuskan untuk “pensiun”, ia tetap datang ke kantornya dan menggambar. Satu tahun kamudian, beliau pun akhirnya mengumumkan bahwa ia tidak akan membuat film lagi namun ia akan terus menggambar sampai ia meninggal.

Water is at its best when it flows fresh and doesn’t stagnate.

Pada akhirnya, rahasia hidup panjang dari para penduduk Okinawa mungkin bukan hal yang baru bagi kebanyakan dari kita. Namun, yang menjadi pembeda adalah bahwa penduduk Okinawa mempraktekkan itu semua dengan serius. Sebagai contoh, mereka punya kebiasaan makan yang terdiri dari bermacam-macam bahan, terutama sayur-sayuran. Mereka juga makan setidaknya 5 porsi buah-buahan yang juga bermacam-macam. Saking beragamnya makanan mereka sampai disebutkan bahwa mereka akan memastikan bahwa ada “pelangi” di meja makan. Selain itu, mereka juga rutin memakan nasi dan jarang mengkonsumsi gula.

The keys to longetivity are diet, excercise, finding a purpose in life (an ikigai), and forming strong social ties - that is, having a broad circle of friends and good family relations.

Principle for happiness by Washington Burnap “the grand essentials to happiness in this life are something to do, something to love, and something to hope for” - The sphere and duties of woman: a course of lectures (1848)

Terakhir, buku ini juga membahas tentang resilience dan wabi-sabi. Sekilas, resilience mungkin terkesan sama seperti preserverance. Meskipun bergitu, penulis menyebutkan bahwa resilience lebih dari kegigihan melainkan juga tentang kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan dan kembali menekuni apa yang membawa makna bagi kehidupan kita. Yang mana merupakan kemampuan penting mengingat hidup tak selalu berjalan dengan lancar.

Resilience is our ability to deal with setbacks. The more resilient we are, the easier it will be to pick ourselves up and get back to what gives meaning to our lives.

Di bab terakhir ini, penulis juga sedikit membahas tentang paham stoicism yang percaya bahwa kesenangan dan hasrat bukanlah akar dari masalah selagi hal tersebut tidak mengambil alih kehidupan kita. Penulis juga memperkenalkan konsep negative visualization yang merupakan salah satu praktek dari stoicism yaitu tentang bagaimana kita bisa menggambarkan kemungkinan terburuk tanpa mengkhawatirkannya.

The Roman emperor Marcus Aurelius said that the things we love are like the leaves of a tree: they can fall at any moment with a gust of wind.

Kemudian yang tak kalah menarik juga tentang wabi-sabi, yang merupakan konsep Jepang mengenai keindahan dalam ketidaksempurnaan. Inilah mengapa masyarakat Jepang menghargai barang-barang seperti gelas teh atau mangkok yang bagi kita mungkin terlihat tidak simetris.

Nana korobi ya oki.
Falls seven times, rise eight. - Japanese proverb

Foto oleh Evgeny Lazarenko di Unsplash