Harga yang sesungguhnya


Photo by michael on Unsplash

We should’ve not only think about what we can buy today, but also what kind of impact our consumption does for the society.

Saya biasanya cuma memikirkan tentang model, bahan, dan harga ketika hendak membeli pakaian.

Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bagaimana pakaian yang saya pakai bisa menjadi bentuk yang sekarang ini. Siapa yang menanam kapas untuk membuat benangnya, berapa gaji buruh yang membuat pakaian tersebut, atau apakah penjahit pakaian tersebut mendapat upah yang layak.

Saya tersindir hebat baru-baru ini setelah menonton sebuah film dokumenter berjudul The True Cost. Betapa kesenjangan sosial begitu jelas terjadi karena sistem perekonomian kita yang ternyata kejam. Lagi-lagi saya merasa naif karena pernah berpikir bahwa semua orang pada dasarnya baik.

Everyone in this world, matters.

Kita semua pernah mendapat petuah untuk menghargai setiap orang. Namun tak jarang kita hanya mempercayai tanpa mempraktikannya.

Ini adalah tentang bagaimana kita menghargai setiap orang, bahkan yang kepadanya kita tidak mengetahui apa-apa namun ia ternyata diperlakukan tidak adil dalam andilnya memproduksi barang-barang yang kita gunakan.

Ini adalah tentang bagaimana kita berpikir jauh, tidak hanya memikirkan kondisi kita saat ini. Tentunya sah-sah saja jika kita menggunakan uang yang kita miliki untuk membeli apapun yang kita inginkan. Namun lebih dari keinginan adalah bagaimana kita bertanggung jawab dalam mengkonsumsi produk/barang tersebut. Karena setiap produk yang kita konsumsi melibatkan banyak hal dan sumber daya yang kadang kali (sayangnya) diatur oleh orang yang seperti kita (yang hanya berpikir tentang keuntungan pribadinya).

Saya masih tidak habis pikir, bagaimana merek fast fashion ternama yang bagi saya pun harganya masih tergolong mahal namun pekerja pabriknya ternyata tidak diperlakukan dengan adil.

Betapa naifnya saya berpikir, semakin mahal harga suatu barang, maka produsennya akan mendapat keuntungan yang cukup untuk membiayai pekerjanya dengan adil. Ternyata persamaannya tidaklah semudah itu.

Masih masuk di akal jika orang-orang di negara maju membelinya, karena bagi mereka harga tersebut pastilah masuk akal dan bahkan tergolong murah. Namun saat memikirkan bahwa kami yang hidup di negara yang pendapatan rata-ratanya jauh dari negara maju tersebut juga membeli merek yang sama di balik fakta bahwa harganya masih tergolong mahal bagi kami, di situlah hal tersebut jadi tidak masuk akal. Apalagi ditambah dengan fakta bahwa keuntungan dari bisnis tersebut hanya memperkaya si empunya merek, tapi mempermiskin pekerja outsource yang mereka pekerjakan. Harga tersebut jadi makin tidak masuk di akal.

Membeli, harusnya tidak didasarkan karena kita memiliki uang untuk melakukannya.

Konsumsi harusnya dipikirkan dengan matang. Apakah kita memang membutuhkan produk tersebut atau kita hanya membeli dalam rangka menggunakan uang yang kita punya.

Karena sesungguhnya, konsumsi yang berlebihanlah yang menjadi alasan pasar kapital tetap berjalan. Karena permintaan pasarnya masih banyak, maka beberapa produsen yang semena-mena memanfaatkan hal tersebut untuk mengeksploitasi sistem ekonomi kita yang semrawut demi mendulang keuntungan bagi dirinya sendiri.

Ini bahkan bukan tentang menabung demi masa depan. Kita bisa saja menghabiskan berapapun yang kita punya untuk membeli apapun yang kita mau. Ini tentang ketidak adilan pada sumber daya manusia dan alam yang terjadi karena semakin tinggi konsumsi yang kita lakukan. Ini tentang menghargai setiap mahluk dan alam yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi kehidupan kita.

Bumi adalah pilihan terbaik yang kita miliki saat ini. Selagi memikirkan cara bagaimana membuat planet lain bisa kita tinggali, kita juga harus berpikir bagaimana kita memelihara bumi agar bisa tinggali lebih lama lagi.