Berlin, Cologne, dan Solingen

DSCF3726

Ingatan tentang riuhnya Berlin, indahnya Cologne, dan damainya Solingen rasanya masih hangat di kepala. Sebelum saya melupakannya, marilah kita bahas satu per satu.

Berlin

DSCF3781

Tidak banyak yang saya lakukan di Berlin selain bekerja. Seperti ibu kota lainnya, Berlin selalu terlihat sibuk. Namun saya bisa melihat bagaimana toleransi sangat dijunjung tinggi di sini. Rasanya saya nggak bakal khawatir untuk pulang malam sendiri di kota ini.

Dan ternyata banyak pula warga muslim yang tinggal di sini. Namun selain itu, banyak pula tunawisma yang agak mengerikan. Terutama di stasiun kereta. Jangan membayangkan tunawisma dengan wajah memelas seperti di Indonesia ya. Di sini mereka terlihat benar-benar berantakan sampai kita yang ngeliat kadang takut. Ada beberapa bahkan yang agresif.

Oh my, maaf jika saya hanya menceritakan hal buruk tentang Berlin. Hanya saja, saya memang tidak punya banyak cerita tentang Berlin selain sibuknya kota ini. Namun sungguh, Berlin adalah gambaran Jerman yang seutuhnya. Bahkan dari bandaranya pun kita bisa tau bahwa orang Jerman ini maunya straight to the point. Bandara Tegel ini bandara yang mencerminkan bahwa orang Jerman nggak suka basa-basi. Nggak ada terminal keberangkatan atau kedatangan, check in counter langsung disuguhkan di depan, tanpa banyak lounge, toko-toko duty free, atau entertaiment center. Bandaranya serius abis.

Cologne

DSCF3748

Rasanya sudah lama saya tidak bertingkah ceroboh ketika bepergian sampai akhirnya kemarin saya ketinggalan bus yang harusnya akan membawa saya ke Cologne. Kalap, akhirnya saya memutuskan membeli tiket kereta saat itu juga. Yang tentu saja, orang Eropa pun terkesima dan bilang “Pasti mahal..” Ya, mau gimana lagi. Semua2nya udah dipesan sampai tiket pulang pun.

Tapi saya tahu saya akan menyukai kota ini sejak melihatnya di internet. Dan sungguh, tiket bus yang hangus dan tiket kereta yang mahal itu benar-benar tidak berarti ketika saya melihat megahnya Cathedral di Cologne. Tak heran mereka butuh 600 tahun untuk membangunnya. Bangunannya sangatlah detil dan megah.

Tak bermaksud untuk membuat teman-teman non-muslim saya iri, namun di Cologne ini saya mengunjungi banyak sekali gereja. And all of them were pretty! Saat melihat bangunan-bangunan indah seperti ini, saya terlalu teringat cita-cita masa kecil saya ketika ingin jadi arsitek. Sungguh beruntung sekali para arsitek itu meninggalkan jejak hidupnya yang indah di dunia ini.

Namun tentu saja saya tak melewatkan keindahan masjid Cologne Central Mosque. Yang ternyata oh ternyata adalah masjid terbesar seantero Jerman. Saat melihat bangunannya, saya jadi teringat observatorium. Begitu masuk ke dalam, rasanya sejuk sekali. Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya saya mengunjungi masjid di luar Indonesia. Rasanya surreal. Seperti menemukan rumah di padang pasir (bah, lebay ya). Tapi bener deh, kayanya saya ketagihan nyari masjid kalo keluar negeri lagi nanti.

Pulang dari masjid, rasa ke-Turki-Turkian saya muncul. Masjid tadi memang dibangun oleh masyarakat Turki di Jerman. Memanfaatkan momentum, saya akhirnya pergi ke kios doner kebab sebelum pulang.

Lengkap sudah, saya merasa seperti wisata religi di sini.

Solingen

IMG_20171122_151449

Kota ini sebenarnya tidak ada di daftar kunjungan saya. Saya tahu akan punya banyak waktu untuk mengunjungi kota lain. Namun saya bukan tipe pelancong yang ambisius. Saya pikir nanti juga bisa merencanakannya secara tiba-tiba jika kota tersebut memang terlihat sangat menarik.

Tentu saja saya sudah memikirkan pergi ke Düsseldorf. Tapi, host saya justru mengajak saya untuk mengunjungi kota kelahirannya yang tak jauh dari Cologne. Akhirnya dia membawa saya ke Solingen dengan motor gedenya di jalanan Jerman yang penuh mobil menjelang musim dingin ini. Ya Tuhan! What an experience. Meskipun, sepulangnya dari perjalanan itu sudah barang tentu saya menggigil kedinginan. Dan tentu saja, para bule yang terbiasa dengan hawa dingin itu cuma bilang “Take a warm bath and you’ll be fine”.

Di perjalanan, kita melewati kota Leverkusen, yang merupakan markas besar dari salah satu merek perusahaan farmasi ternama & pencipta aspirin, Bayer. Saya bahkan diajak ke komplek pabriknya yang besarnya sudah seperti satu kecamatan.

Sementara itu, Solingen ini kota yang damai sekali. Penduduknya hanya sekitar 150000 orang. Saya selalu ingin merasakan kehidupan desa di negara lain. And Solingen seems like a perfect place which I want to live in. Berada di Solingen rasanya damai, tak banyak keriuhan, dan asri.

Solingen ini meskipun kecil, terkenal dengan julukan “Kota pisau”. Host saya bilang, kalau di pisau kita ada ukiran Solingen-nya, sudah pasti itu kualitas terbaik. Hahaha, tentu saja dia bilang begitu.

Saya juga diajak melihat salah satu jembatan kereta tertinggi di Eropa, Müngsten Bridge. Konon saking tingginya, jembatan ini sering dipake orang untuk bunuh diri. Saya yakin kalo ada di Indonesia, tempat ini pasti sudah jadi salah satu tempat shootingnya mister T halan-halan.

It was a short visit yet I really enjoy the beauty of the city. Saya dikasih liat neighborhood tempat host saya tinggal dulu, sekolah dia waktu kecil, Burg Castle (meskipun kita nggak jadi ke atas karena jalannya kebetulan ditutup), termasuk juga mampir ke kastil Haus Nesselrath yang kebetulan punya pamannya (yang serius cantik banget diliat dari depan).

Tapi tentu saja, saya lebih cinta matahari Indonesia dan nasi padangnya. 2 minggu makan Dinkelbrot dan bermacam daging beraneka saus yang rasanya tetap saja hambar sudah cukup menyiksa saya. Mau bagaimana lagi. Memang lidah kampung. Hehe (: