Digital detox

Ada beberapa hari dimana saya sengaja menarik diri dari internet. Bukan karena terlalu sibuk melakukan hal lain. Namun untuk menyeimbangkan diri karena saya merasa sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di internet.

Sebenarnya, kebiasaan ini berawal dari kemalangan jaman kuliah dulu. Saya masih ingat kala itu ponsel android satu-satunya yang saya punya layar sentuhnya rusak. Masih bisa menyala tapi otomatis tidak bisa diapa-apakan. Akhirnya mau tak mau saya terpaksa hidup seminggu tanpa ponsel. Tapi peristiwa tersebut justru membuat saya sadar bahwa saya baik-baik saja meskipun hidup tanpa ponsel.

Sejak peristiwa tersebut, saya malah jadi ketagihan untuk menarik diri dari gadget. Kadang saya mematikan ponsel di akhir pekan. Atau sekedar mematikan koneksinya. Atau, tidak membuka laptop sama sekali selama akhir pekan.

Melewatkan sehari tanpa membuka ponsel atau laptop mungkin bukan perkara sulit bagi beberapa orang. Tapi bagi saya (dan saya yakin beberapa teman lain juga mengalaminya) yang selalu ketakutan dan merasa bersalah jika merasa tidak melakukan sesuatu yang produktif, hal ini tentulah merupakan kemajuan.

Saya masih ingat dulu teman-teman kosan saya selalu bertanya dengan heran jika seharian saya terlihat tidak membuka laptop sama sekali. Saya hanya tersenyum dan mengatakan jika saya sedang melakukan digital detox.

Ketakutan selalu bisa dilawan dengan kebiasaan. Setelah beberapa kali melakukan digital detox, saya merasa jadi lebih santai ketika tidak melakukan apapun. Rasa bersalah tersebut semakin mereda perlahan-lahan.

Begitupun FOMO yang saya rasakan. Karena pada akhirnya, berita yang sering kali takut kita lewatkan sebenarnya tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan kita. Semuanya bisa menunggu. Tak perlu khawatir tertinggal berita mengenai zombie apocalypse. Jika si zombi benar-benar ingin memangsa kita, kita akan tahu lebih dulu daripada reporter berita. :b

Hal lain yang saya coba baru-baru ini adalah dengan mengukur waktu yang saya habiskan dengan gadget. Saya memasang aplikasi Rescue Time di desktop dan smartphone untuk memonitor aktifitas yang saya lakukan.

Screen Shot 2017-08-06 at 10.34.00 PM

Hasilnya, laporan minggu pertama menunjukan bahwa saya menghabiskan 76 jam 51 menit di gadget dengan 59%nya saya habiskan untuk software yang bersifat produktifitas dan sisanya untuk aplikasi hore-hore seperti sosial media dan menonton film. Jika dihitung dari 168 jam yang saya punya dalam seminggu, serta dikurangi 56 jam waktu tidur, saya punya sisa 112 jam. Yang mana berarti bahwa hampir 70% dari waktu bangun saya habiskan dengan gadget.

Screen Shot 2017-08-06 at 10.27.09 PM

Minggu kedua, karena semangat untuk mengurangi waktu saya dengan gadget masih tinggi, laporannya jadi turun menjadi 39 jam 41 menit. Yang berarti prosentase waktu yang saya habiskan dengan gadget turun menjadi 35.7% saja. Meskipun sampai sekarang, ini masih menjadi rekor terendah sementara ini.

Di smartphone sendiri selama satu bulan terakhir, saya menghabiskan waktu rata-rata 4 jam 6 menit. Dengan prosentase paling banyak sebesar 35% dihabiskan untuk berkomunikasi, dan 32% untuk sosial media. Lumayan, masih lebih sedikit dibanding waktu rata-rata orang Indonesia lainnya.

Saya pikir saya sudah on track dengan rencana diet internet yang saya jalani. Meskipun goal untuk mencapai prosentase 75% dalam produktifitas terasa masih jauh dan masih perlu disiplin lagi.

Ada cerita menarik ketika tahun lalu Mozilla Space Jakarta kedatangan tamu seorang engineer Mozilla dari Prancis yang sekarang tinggal di Jepang. Saya pikir seorang engineer pasti orangnya techy sekali. Saya membayangkan seseorang dengan smartphone canggih model terbaru dan mengenakan smart watch.

Tapi ternyata setelah bertemu, dia justru bercerita bahwa dia tidak punya ponsel sama sekali. Gadget yang saat itu ia bawa hanyalah laptop dan iPod.

Padahal dia sudah lumayan veteran di dunia internet (sebelumnya pernah bekerja di W3C dan Opera). Saya jadi merasa generasi baru seperti saya ini norak karena sangat tergantung pada teknologi yang sebenarnya sifatnya komplementer, bukan primer.

Hal yang kita pikir adalah kebutuhan, most of the times biasanya hanyalah barang untuk membuat kita lebih nyaman. Dan sering kali, kita malah jadi terbius dengan kenyamanan tersebut sehingga lupa untuk hidup secara analog. Dengan memaksa kita untuk menjauh sejenak dengan dunia digital, secara tidak langsung kita berusaha untuk mengurangi ketergantungan kita pada kenyamanan. Dan membuat kita terbiasa untuk berusaha. Because seriously, I don’t think that we - the millenials are that lazy.