[review] Chasing slow

Does everyone else know what they’re suppposed to be doing? Is this making sense? Am I on the right page? What am I looking for?

Berusaha melambat di dunia yang bekerja dengan semakin cepat ini memang terdengar kontradiktif. Bukannya kita seharusnya berusaha untuk jadi lebih produktif? Bergerak lebih cepat untuk mendapatkan lebih banyak?

Nama Erin Loechner sebetulnya juga asing bagiku sebelum akhirnya aku membaca banyak blog yang merekomendasikan bukunya, Chasing slow. Setelah selesai membaca buku tersebut, aku pun mulai paham mengapa ia mendapat julukan “The Nicest Girl Online.”

Chasing slow tak pelak membuatku introspeksi. Terlepas dari kisah hidupnya yang memang unik, keresahan yang dialami Erin sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita semua. Kita semua bergerak cepat, tanpa mengetahui apa sebenarnya yang kita kejar.

Di bukunya tersebut, Erin bercerita tentang kisahnya memilih menikah dengan seseorang yang memiliki “expiration date“, pengalamannya bangkrut dan memulai karirnya kembali, serta pengalamannya menjadi seorang ibu. Banyak pelajaran berharga yang ia sampaikan melalui kisah hidupnya.

Tentang minimalisme

Without grace, minimalism is another metric for perfection.

Ketika kita berfokus pada perhitungan, sama saja kita kembali pada lingkarang perbandingan. Minimalisme, bukanlah tentang siapa yang memiliki lebih sedikit barang. Barometernya bukanlah aspek eksternal melainkan diri kita sendiri. Karena kitalah yang paling tahu kapan kita merasa cukup.

More important than pursuing minimalism, for me, is pursuing gratitude.

Kemudian dari cukup tersebutlah kita bisa mengembangkannya jadi rasa syukur. Bersyukurlah karena kita masih memiliki pilihan untuk menentukan apa yang memang berarti dalam kehidupan kita.

Tentang media sosial (dan bahayanya)

The woman on the screen is extraordinary. The woman in the mirror is not.

Kita semua mengalaminya. Lini masa media sosial membuat kita sadar apa artinya peribahasa “rumput tetangga lebih hijau dari pada rumput sendiri”. Untuk itu, kita pun melakukan berbagai hal untuk terlihat sama hijaunya. Melalui media sosial, kita ibarat berteriak ke satu sama lain “My life, is better than yours!.” Tapi kita tau sendiri filter apa yang kita gunakan untuk memperhijau rumput kita. We know where we are standing. Dan ketika jarak kehidupan nyata kita semakin jauh dengan avatar social media, kita pula yang menanggung beban morilnya.

Tentang syukur

If you think that happiness means total peace, you will never be happy. Peace comes from the acceptance of the part of you that can never be at peace. It will always be in conflict. If you accept that, everything gets a lot better.

Jika kita terus menerus memikirkan apa yang belum kita capai, maka kita tak pernah bisa merasa damai. Karena rasa syukur yang hakiki justru tercipta ketika kita menerima 2 sisi kehidupan. Baik itu yang baik, maupun yang buruk. Mengikhlaskan bahwa kehidupan memang terdiri dari keduanya.